Selasa, 29 Juli 2008

Warung kejujuran

Suara Merdeka Nasional
Jumat, 09 Februari 2007
Pendidikan Antikorupsi Belajar dan Praktik Senyatanya
SEORANG murid berseragam putih-biru tampak mengambil wafer dari wadahnya. Setelah itu dia meletakkan uang kertas senilai Rp 1.000 di kardus yang digunakan untuk menyimpan uang. Tidak hanya meletakkan, dia juga terlihat mengambil kepingan logam uang senilai Rp 300 dari kotak itu. Lantas murid itupun berlenggang meninggalkan tempat sambil menikmati wafer. Begitulah kurang lebih aktivitas yang terlihat di Toko Kejujuran. Sebuah toko yang bisa dibilang mempunyai konsep "postswalayan". Di situ setiap murid tidak hanya bisa memilih sendiri barang yang ingin dia beli seperti di swalayan, tetapi mereka juga sekaligus melakukan transaksi sendiri. "Cara membayar barang yang dibeli cukup dengan meletakkan uang di kotak uang. Kalau memang masih ada sisa, mereka dipersilakan untuk mengambil sendiri kembaliannya," jelas Kepala SMP Keluarga M Basuki Sugitha. Ya, Toko Kejujuran memang hanya ada di SMP yang terletak di Desa Kaliputu Kecamatan Kota Kudus itu. Toko tersebut merupakan praktik dari pendidikan antikorupsi yang telah diterapkan sekolah tersebut sejak 19 Desember 2005. Melalui toko itu, para siswa diharapkan bisa belajar untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Dalam keseharian di kelas, mata pelajaran antikorupsi diajarkan setiap hari Kamis. "Satu jam terakhir hari itu, setiap kelas diisi dengan mata pelajaran antikorupsi yang diajarkan oleh wali kelas masing-masing," ujar Basuki. Namun, Basuki juga mempunyai jurus ampuh agar para siswa tidak bosan. Selain menggunakan buku antikorupsi yang menarik dan interaktif, SMP Keluarga sesekali mengundang tokoh-tokoh untuk berbicara di depan para siswa. Beberapa orang yang sudah pernah menjadi guru antikorupsi yakni Bupati Kudus Ir HM Tamzil MT serta Direktur Pelayanan Pendidikan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Eko S Tjiptadi.(Adhitia Armitrianto-41)

Gue tentang PLTN di Sinar Harapan

Sekolah Jangan Dilibatkan Polemik PLTN

Sinar Harapan 29 Juli 2008
Kudus-Kementerian Negara Riset dan Teknologi dinilai tidak etis melibatkan satuan pendidikan (sekolah) di wilayah Kabupaten Kudus, Jepara dan Pati, Jawa Tengah, dalam polemik rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Pembagian buku suplemen berjudul PLTN Manfaat dan Potensi Bahayanya kepada satuan pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di wilayah tersebut hanya akan mengganggu proses belajar mengajar belaka. Pasalnya isi buku itu tidak seimbang dan hanya mempromosikan PLTN saja, diungkap tokoh pendidikan Kudus Drs M Basuki Sugita kepada SH, Selasa (8/4). “Sebagai pusat ilmu buku tersebut cukup bagus. Hanya sayang informasi yang diberikan hanya sepihak. Jelas isi buku mengajak para guru dan siswa mendukung PLTN,” ujarnya. Akhir Maret lalu melalui Kantor Dinas Pendidikan diedarkan buku gratis berjudul PLTN Manfaat dan Potensi Bahayanya. Buku mewah berwarna setebal 25 halaman tersebut, menurut Deputi Menteri Negara Riset dan Teknologi Bidang Dinamika Masyarakat Prof Dr Carunia Mulya Firdausy, untuk memberikan pengenalan tentang PLTN sebagai salah satu sumber energi.Basuki, pencipta mata pelajaran Pendidikan Antikorupsi ini, berpendapat akan jauh lebih berguna jika Kementerian Negara Riset dan Teknologi memberikan buku gratis seputar energi alternatif, seperti energi surya, angin dan matahari. Buku energi alternatif justru tepat dan berdaya guna untuk merangsang minat belajar para siswa.Misalkan saja dibuat contoh rangkaian sederhana energi angin yang bisa dipraktikkan guru dan siswa. Jika gerakan energi alternatif dimasalkan tentu bisa memberikan dampak signifikan pengurangan kebutuhan bahan bakar minyak. “Langkah-langkah seperti ini yang justru dibutuhkan sekolah, guru dan siswa. Berikan mereka kail biar merangsang minat dan bakat di tingkat bawah,” ujar Basuki.Buku gratis terbitan pemerintah hanya memberikan gambaran positif PLTN. Tidak ada hal negatif tertuang pada buku itu. “Kebocoran PLTN di Chernobyl, Ukraina, sedikit pun tidak disinggung, padahal dampak yang ditimbulkan luar biasa dan masih terasa sampai sekarang,” ujar guru matematika SMP Keluarga di Kudus ini.Ia menambahkan agar buku itu tidak mengundang pro dan kontra dilingkup satuan pendidikan, sebaiknya segera diterbitkan buku baru yang lebih terinci mengupas PLTN. (SU Herdjoko)

Komen gue ttg KTSP

Mutu Manusia di Balik Kurikulum

by : Fransiskus Saverius Herdiman

Tanpa semangat perubahan, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan bak macan ompong
Sejak masa pemerintahan Orde Baru, Departemen Pendidikan telah beberapa kali mengganti kurikulum. Kita misalnya pernah mengenal kurikulum 1975. Kurikulum ini kemudian diganti dengan Kurikulum 1984. Kemudian kurikulum 1994 yang kemudian diganti lagi dengan kurikulum 2004 atau yang disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun, riwayat KBK ini tak panjang karena harus diganti dengan kurikulum baru. Sejak tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006.
Para pelaku pendidikan termasuk para guru dan murid, adalah stakeholder yang paling merasakan dampak dari pergantian kurikulum tersebut. Selain harus memahami isi sebuah kurikulum, mereka juga harus bisa menyesuaikan diri dengan kurikulum baru. Ironisnya, umur sebuah kurikulum tidak berjalan panjang. Ada kesan, setiap pergantian kabinet, selalu ada pergantian kebijakan, termasuk kurikulum.
Pertanyaannya, apakah penerapan sebuah kurikum tidak melalui uji coba ilmiah yang ketat sehingga kemudian -setelah diterapkan - begitu mudah rancu dan harus diganti? Apa yang melatarbelakangi pergantian sebuah kurikulum? Selain itu, pernahkah penerapan sebuah kurikulum dievaluasi? Kenyataannya, sebelum sebuah kurikulum berhasil diterapkan, Depdiknas malah sudah menggantinya dengan kurikulum baru.
Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Bedjo Sujanto mengatakan, pergantian kurikulum yang dilakukan selama ini -termasuk KTSP - tidak melalui studi yang cermat. "Saya melihat dan merasakan bahwa pergantian kurikulum ini tidak melalui studi yang cermat, dan tidak melalui sosialisasi yang memadai," ujarnya.
Bedjo menyatakan, problem utama pendidikan di Indonesia bukan pada kurikulum, tapi pada orang di balik kurikulum tersebut. Hal ini, katanya, terbukti dari pergantian kurikulum yang tidak membawa perbaikan pada mutu pendidikan secara signifikan. "Kalau dugaan ini benar, artinya bukan kurikulumnya yang harus dibongkar pasang, tetapi manusianya yang harus lebih cerdas memaknai kurikulum," katanya.
Pertanyaan klasiknya, dapatkah KTSP meningkatkan mutu pengajaran di sekolah-sekolah kita?
Perubahan Mental Birokrat
Untuk melaksananan KTSP, Departemen Pendidikan Nasional menerapkan kerangka dasar yang terdiri dari Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan. Sedangkan pengembangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian menjadi kewenangan satuan pendidikan (sekolah) di bawah koordinasi dan supervisi pemerintah kabupaten/kota.
Jiwa atau semangat dari KTSP adalah memberi keleluasaan penuh setiap sekolah untuk mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar. Dengan keleluasaan tersebut, sekolah dapat memasukkan muatan lokal yang sesuai dengan situasi dan kondisi di daerahnya. Karena itu, KTSP membuka peluang bagi kreativitas sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulumnya sendiri.
Persoalannya, kata Bedjo, KTSP hanya cocok dilakukan di negara yang memiliki guru dengan kemampauan rata-rata tinggi, kreatif dan telah benar-benar menjalankan otonomi. Selain itu, KTSP hanya cocok diterapkan di sebuah lingkungan yang telah memiliki etos belajar yang tinggi. Sedangkan untuk konteks Indonesia, prasyarat tersebut, katanya, belum terpenuhi.
Menurut Direktur Institut for Education Reform Universitas Paramadina, Utomo Dananjaya, KTSP justru tidak memberikan keleluasaan dan membangkitkan kreativitas para guru. Menurutnya, standar isi, standar kompetensi dan standar kelulusan yang disusun Badan Nasional Sertifikasi Pendidikan (BNSP) malah merampas kemerdekaan guru.
"Coba bayangkan, apa yang dilakukan guru di sekolah setelah dia diberikan standar. Gak mungkin dia melakukan sesuatu yang lain, karena hak guru itu sudah dirampas oleh BNSP. Kemudian dia bilang kamu susun KTSP. Bagaimana itu. Sementara guru itu bukan orang pandai, cerdas," ujarnya.
Selain kultur dan etos kerja para guru yang belum mendukung, salah satu persoalan dalam penerapan KTSP, menurut Bedjo, adalah minimnya sosialisasi kurikulum kepada para guru. Dia mencatat, dalam setiap pergantian kurikulum, justru sosialisasi itu sangat kurang dilakukan. Bahkan, ketika sebuah kurikulum baru muncul, yang terjadi adalah kegitan sekolah menjadi stagnan. Andaikan ada sosialisasi, maka sosialisasi itu, katanya, hanya menjangkau sekolah yang dekat dengan pusat kekuasaan. Padahal, sebagian besar sekolah kita berada jauh dari pusat pemerintahan tersebut.
"Buruknya pemahaman terhadap perubahan kurikulum baru (KTSP), bisa jadi terulang kembali dan menjadi penyebab tidak suksesnya pelaksanaan KTSP," ujarnya.
Karena itu, untuk keberhasilan KTSP, Bedjo menyarankan pemerintah melakukan sosialisasi yang gencar. Selain itu, membangkitkan kreativitas guru untuk mengelaborasikan standar yang ditetapkan BNSP. Yang tak kalah penting adalah mengubah mental birokrat pusat hingga daerah di jajaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
M. Basuki Sugita, seorang guru di Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah mengatakan, perubahan mental birokrat pusat dan daerah itu sangat penting karena birokrat dari Dinas Pendidikan mempunyai kedudukan strategis dan sinergi yakni sebagai penghubung kepentingan pemerintah dan sekolah. Karena itu, maju mundurnya sebuah sekolah dan pendidikan suatu daerah katanya, juga tergantung pada seberapa jauh kinerja kantor dinas di kabupaten dan kota.
"Bukan rahasia lagi kinerja kantor yang satu ini masih jauh panggang dari api," ujarnya.
Karena itu, Basuki mengingatkan, tanpa perubahan mental birokrat, KTSP tidak akan berjalan maksimal. "Tanpa semangat perubahan, makna KTSP bak macan ompong," ujarnya.

Seminar

Kompas, 5 Nopember 2007

Pemberantasan Korupsi

Pendidikan Pegang Peran Strategis

Solo, Kompas - Gerakan melawan korupsi bisa berjalan efektif jika dikembangkan melalui pembelajaran di sekolah-sekolah. Gerakan antikorupsi di sekolah menghindari pelajaran pasal-pasal hukum belaka, namun lebih dititikberatkan mengajarkan kejujuran dalam aspek keseharian.
Kejujuran bisa dipraktikkan pada pembelajaran keseharian tanpa mengurangi kualitas akademis pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan memegang peranan strategis melawan korupsi yang makin marak di Tanah Air.
Hal tersebut mencuat pada seminar Kolese Sekolah Menengah Kejuruan Santo Mikael Surakarta dan Kolese Sekolah Menengah Kejuruan Pendidikan Industri Kayu Atas (PIKA) Semarang selama empat hari Kamis-Minggu (4/11) di panti semadi Wisma INRI, Tawangmangu, Solo, Jawa Tengah. Seminar itu dimaksudkan untuk mencari masukan pembelajaran Paradigma Pendidikan Ignasian (PPI) yang digunakan kedua lembaga pendidikan Katolik tersebut.
Seminar yang dihadiri para guru Santo Mikael dan PIKA selain menghadirkan pembicara intern juga mengundang J Subagyo SJ dari Yayasan Kanisius Semarang serta M Basuki Sugita dari SMP Keluarga di Kudus dan B Siswanto dari SMP Raden Patah Semarang. Yayasan Kanisius Semarang saat ini tengah mengembangkan pembelajaran Paradigma Pendidikan Refleksif (PPR) yang menekankan aspek humanis dalam pembelajaran keseharian.
Menurut Subagyo, saat ini ada empat masalah bangsa, yakni korupsi, kekerasan, perusakan lingkungan hidup, serta kerusakan keadaban publik. "Sesuai analisis nota pastoral 03-06, keempat masalah tersebut menghambat perkembangan bangsa. Oleh sebab itu, arah pendidikan seharusnya juga digiring untuk melawan keempat masalah bangsa. Dalam hal ini sekolah tidak perlu menambah kurikulum baru dan jam pelajaran tambahan. Namun, dibutuhkan perubahan pola pikir para guru. Hal itu tidak mudah dilakukan, namun harus dimulai kalau tidak mau bangsa ini makin terpuruk," ujar Subagyo.
PPR yang menekankan aspek humanis pembelajaran menggiring para siswa meningkatkan rasa persaudaraan dan kebersamaan. Rasa persaudaraan yang muncul—selain mendidik anak menghindari kekerasan—juga menjadi kunci keberhasilan siswa menempuh pendidikan. Siswa disadarkan pelajaran sekolah tidak melulu mencari keberhasilan aspek akademis belaka.
"Untuk apa siswa cerdas kalau nantinya ikut praktik korupsi yang ujungnya merugikan kepentingan bersama," tambah Subagyo.
Praktik keseharian melawan korupsi seperti dilakukan SMP Keluarga di Kudus diwujudkan dalam Pendidikan Antikorupsi (PAK). Dalam PAK para siswa dididik meningkatkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, membuka warung kejujuran dan telepon kejujuran.
"Beri kepercayaan kepada anak untuk selalu bersikap jujur. Warung kejujuran bisa bangkrut kalau anak mengambil barang tanpa membayar. Anak diberi refleksi hal itu tengah terjadi di negara kita," ujar Basuki. (pom)

Buku Pelajaran

Kompas, 10 September 2007
Buku Pelajaran dan Kerelaan Guru "Berpuasa"
M Basuki Sugita
Masalah pengadaan buku pelajaran sekolah sejak lama dituding menjadi salah satu penyebab mahalnya biaya pendidikan di Tanah Air. Rencana pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan dana buku pelajaran patut dihargai. Rekan Hendro Martono (Kompas, 27/8) telah menulis panjang lebar persoalan buku pelajaran, salah satunya berkaitan dengan guru sebagai sumber belajar.
Namun, Hendro Martono sebagai seorang pelaku pendidikan terjebak masalah persoalan buku pelajar dengan sumber dana utamanya dana bantuan operasional sekolah (BOS) reguler dan BOS buku. Intinya, pengadaan buku pelajaran sekolah butuh biaya besar dan itu harus dipenuhi pemerintah. Tanpa kemauan baik pemerintah dikhawatirkan persoalan buku pelajaran tidak terpecahkan.
Di tengah karut-marut dunia pendidikan di Tanah Air, muncul pertanyaan menggelitik: apakah sekolah mampu menyediakan buku pelajaran gratis bagi anak didik mereka? Jawabannya bisa, asal guru dan juga sekolah rela "puasa". Artinya, pengadaan buku pelajaran tidak melihat kisaran fee keuntungan, tetapi semata demi kemajuan pendidikan anak didik.
Untuk menjawab persoalan di atas kita harus tahu lebih dulu mekanisme penjualan buku pelajaran sekolah dewasa ini. Harus diakui dan sudah jadi rahasia umum, mahalnya harga buku pelajaran, terutama berkaitan dengan masalah fee. Kisaran besaran fee inilah yang membuat sekolah tidak ubahnya medan pertempuran antarpenerbit buku. Rebutan nilai fee buku mendorong sekolah dan guru saban tahun rajin menjual buku pelajaran kepada anak didik mereka.
Fee buku pelajaran sekolah jamak dinikmati guru/sekolah sampai pejabat tertinggi instansi terkait di daerah. Mekanisme yang berlaku umum, nilai 50 persen dari harga jual buku pelajaran, penerbit buku sudah meraup untung. Sisanya, yang 50 persen dari harga buku pelajaran, "dimainkan" tenaga penjual (sales) dan distributor guna melicinkan nilai penjualan. Untuk guru/sekolah jamak mendapat bagian 35-42,5 persen, bergantung nilai pembelian. Adapun pejabat instansi terkait sekitar 2,5 persen dan sisanya menjadi bagian tenaga penjual buku.
Misalkan harga sebuah buku pelajaran Rp 50.000, berarti dengan nilai jual 50 persennya saja (baca: Rp 25.000 per buku), penerbit sudah dapat keuntungan. Sisa harga buku yang separuhnya inilah yang menjadi "bancakan" banyak pihak.
Mekanisme penjualan buku ini juga menjadi sumber ketidakadilan. Orangtua murid yang keluar uang justru jarang menikmati fee keuntungan buku pelajaran sekolah. Justru fee keuntungan dinikmati pihak lain yang sama sekali tidak pernah keluar uang sepeser pun.
Lantas, bagaimana cara pengadaan buku pelajaran gratis? Keputusan penggratisan buku pelajaran harus dirapatkan dewan guru.
Tujuannya agar di kemudian hari semua sepakat "puasa" tidak mendapat bagian fee keuntungan beli buku pelajaran. Kemudian setiap guru dibebaskan memilih buku pelajaran untuk anak didiknya.
Berangkat dari pengalaman
Berdasarkan pengalaman kami, setelah harga buku berkurang 50 persen, biaya pengadaan buku pelajaran jauh terasa ringan. Sumber dana pembelian buku pelajaran bisa diambilkan dari BOS reguler dan BOS buku.
Setelah buku pelajaran dibeli sekolah, buku lantas dipinjamkan kepada seluruh anak didik dengan sistem sewa cukup Rp 1.000 per buku untuk keperluan administrasi. Misalkan, sekolah mampu membelikan 10 buku pelajaran, berarti orangtua hanya keluar ongkos Rp 10.000 saja. Jauh lebih murah daripada orangtua murid membeli sendiri, bisa mencapai Rp 400.000 untuk 10 buku. Nanti, pada akhir tahun pelajaran, buku sekolah yang dipinjam anak ditarik kembali. Tahun pelajaran berikutnya buku itu dipinjamkan lagi kepada adik kelas.
Untuk menjamin buku sekolah tetap terawat, perlu dibuat aturan baku yang disepakati bersama antara sekolah, wali murid, dan komite sekolah. Aturan itu antara lain buku sekolah harus disampul, tidak boleh dicoret-coret supaya tetap bersih, buku yang hilang jadi tanggungan wali murid dan harus menggantinya dengan buku baru sejenis, serta buku dikembalikan sebelum akhir tahun pelajaran.
Sistem pinjam bergulir itu punya dua tujuan utama. Pertama, meringankan beban keuangan orangtua siswa. Kedua, murid punya nilai sosial dan kebersamaan tinggi di antara mereka.
Para murid disadarkan untuk tetap merawat buku pinjaman karena tahun depan buku dimaksud digunakan adik kelas. Dari penyadaran itu murid diingatkan untuk bisa selalu membantu orang lain/adik kelasnya.
Pengalaman yang diperoleh penulis selama ini meski aturan sudah dibuat baku dan mengikat, sekitar 10 persen buku pinjaman nanti bermasalah. Masalah utama adalah menjaga kebersihan halaman buku. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian wali kelas saat menerima kembali buku yang dipinjam siswa.
Sistem pinjam bergulir di satu sisi juga menguntungkan sekolah. Pada tahun berikutnya sekolah tidak terlalu terbebani soal pengadaan buku sekolah. Anggaran dari BOS reguler dan buku bisa membeli buku pelengkap dan buku referensi guru atau kebutuhan sekolah lain, seperti pengadaan buku perpustakaan.
Apabila dana BOS pada akhirnya dihentikan pemerintah, sekolah sudah punya buku paket lengkap untuk anak didik. Apabila kurikulum berganti, buku sistem pinjam bergulir itu bisa sebagai buku pelengkap perpustakaan. Kelemahan utama sekolah dewasa ini—jika kurikulum berganti—buku lama langsung dilego. Kiloan lagi.
Pergantian kurikulum ternyata tidak mutlak mengubah total materi mata pelajaran. Satu-dua materi baru saja yang disisipkan, menggantikan materi lama. Buku kurikulum lama tetap bisa digunakan sebagai tambahan materi pelajaran.
Penulis sampai saat ini selama mengajar Matematika tetap memakai buku pegangan terbitan tahun 1980 keluaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kalau mau jujur, banyak buku Matematika terbitan pemerintahan reformasi ternyata mengutip buku lama (Kurikulum 1975) tersebut.
Tentu saja pejabat instansi terkait jarang yang minta sekolah melaksanakan sistem buku pinjam bergulir. Karena setiap tahun pelajaran baru sekolah membeli buku pelajaran lagi, mereka dipastikan dapat keuntungan fee yang sangat lumayan.
Apa boleh buat, demi meringankan beban orangtua murid, sekolah perlu kecerdikan tersendiri tanpa harus menunggu instruksi pemerintah.
M Basuki Sugita Guru Matematika SMP Keluarga Kudus, Jawa Tengah
Prev: Analisis Ekonomi, Kompas 10 September 2007Next: Manajemen, Kompas 10 September 2007

KTSP=Perubahan

Kompas
Didaktika
Sabtu, 23 September 2006
Semangat KTSP, Semangat Perubahan
M BASUKI SUGITA
I follow the MoskwaDown to Gorky ParkListening to the wind of changeAn August summer nightSoldiers passing byListening to the wind of changeI
Sepenggal lirik kelompok grup rock Scorpions asal Jerman berjudul Wind of Change di atas secara jitu menggambarkan arus perubahan setelah tembok Berlin roboh tahun 1989.
Tembok Berlin sebagai simbol perang dingin tidak kuasa menahan keinginan anak manusia yang ingin melihat perdamaian. Lengkingan tinggi vokalis Klaus Meine menyadarkan kita akan datangnya arus perubahan. Dan arus perubahan tersebut perlu disambut gembira karena diyakini akan membawa banyak manfaat.
Dalam konteks yang hampir sama, arus perubahan juga terjadi dilingkup pendidikan nasional. Mulai tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006. KTSP memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memerhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar.
Sebelum KTSP diluncurkan, Depdiknas mengumpulkan sejumlah sekolah negeri yang dinilai unggulan di Malang, Jawa Timur, untuk diberi penataran. Sekembalinya ke daerah, sekolah tersebut diminta menularkan ilmunya. Dengan sistem getok tular sederhana ini, misi dan visi Depdiknas mudah sampai ke akar rumput.
Pertanyaan mendasar, apakah KTSP akan dimanfaatkan semaksimal mungkin sekolah untuk meningkatkan potensi yang dimiliki? Perlu diingat, KTSP tidak berjalan maksimal jika para pejabat Depdiknas tidak berubah lebih dahulu. Tanpa semangat perubahan makna KTSP bak macan ompong.
Jalur birokrasi
Jalur birokrasi dunia pendidikan di Tanah Air adalah Depdiknas berada di puncak piramida teratas. Di bawahnya baru Kanwil P dan K masing-masing provinsi. Kanwil ini membawahi Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kota. Dan alur akar rumput sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri, tepat di bawah Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kotamadya itu.
Artinya, Kantor P dan K kabupaten dan kota punya kedudukan strategis dan sinergi sebagai penghubung kepentingan pemerintah dan sekolah. Karena itu, maju mundurnya sebuah sekolah dan pendidikan suatu daerah sebenarnya juga tergantung seberapa jauh kinerja Kantor P dan K kabupaten dan kota. Bukan rahasia lagi kinerja kantor yang satu ini masih jauh panggang dari api.
Harus diakui, KTSP merupakan batu loncatan kemajuan pendidikan. Penyusun rencana kerja setahun penuh memang membantu meningkatkan kinerja. Dari rencana inilah sekolah menapak kerja atas garis-garis yang disusun dewan guru dengan persetujuan komite sekolah sebelum disahkan Kantor P dan K setempat.
Sejumlah sekolah setelah KTSP diberlakukan langsung mengembangkan kreativitasnya. Sebagai contoh di SMP tempat kerja penulis, mulai tahun ini pemilihan ketua OSIS dibuat seperti mekanisme pemilu. Antusiasme anak tinggi dan ini juga pelatihan demokrasi dan politik sejak dini.
Seyogianya sebelum sekolah menyusun KTSP, Kantor P dan K kabupaten dan kota lebih dulu membuat rencana kerja setahun ke depan. Atau jangan-jangan kantor tersebut tidak pernah merancang kegiatan satu tahun pelajaran? Sepanjang yang penulis ketahui belum pernah ada rencana kerja Kantor P dan K disosialisasikan lebih dulu ke sekolah-sekolah. Mekanisme grobyakan justru yang sering mencuat.
Sebagai contoh kegiatan lomba-lomba mata pelajaran, siswa berprestasi (siswa teladan), kesenian dan olahraga belum jelas kapan dilaksanakan. Demi menjunjung fair play sebaiknya semua kegiatan tingkat kabupaten atau provinsi disosialisasikan jauh-jauh hari sebelumnya. Jika perlu setiap awal tahun pelajaran Kantor P dan K juga membuat semacam KTSP yang berisi kegiatan khususnya lomba-lomba suatu daerah satu tahun ke depan.
Persaingan
Sejauh ini tingkat persaingan antarsekolah sedemikian ketat. Penjadwalan penting karena hasil lomba menjadi semacam prestasi sekolah. Tapi kenyataan di lapangan berbicara lain. Ada beragam kepentingan yang membuat hanya sekolah tertentu lebih diperhatikan pejabat daerah. Acap terjadi peserta lomba ke tingkat provinsi hanya sekadar tunjukan sesuai selera pejabat daerah.
Besar kemungkinan rencana kegiatan itu ada tetapi hanya sekolah tertentu di lingkaran kekuasaan tahu lebih dulu. Buktinya segelintir sekolah sudah menyiapkan calon peserta lomba jauh hari sebelumnya. Pengalaman seorang kepala SD di Kudus, beberapa tahun silam, undangan berbagai lomba biasanya datang mendadak. Namun setelah mendekati pejabat kecamatan, kurang beberapa bulan kalau ada lomba sudah diberi tahu dulu. "Untuk itu semua paling tidak kami saban tahun kasih parsel lebaran," ujar kepala SD itu.
Olimpiade
Hanya lomba Olimpiade Sains Nasional (OSN) yang dijadwalkan lengkap setahun sebelumnya. Namun, itu belum cukup karena mencari materi lomba di daerah sulitnya minta ampun. Penulis baru tahu materi lomba setelah seorang siswa kami berhasil maju tingkat provinsi. Itu pun diberi pesan pejabat, soal OSN tidak boleh disebarluaskan ke sekolah lain.
Kalaupun sekolah berhasil maju lomba ke tingkat provinsi tidak tampak usaha pejabat daerah membantu memfasilitasi persiapan. Semua diserahkan ke sekolah, mulai mencari pelatih mumpuni dan materi soal-soal sampai pembiayaan. Muncul anekdot siapa yang menang lomba kabupaten malah celaka tiga belas.
Kinerja pejabat daerah seperti ini yang kini tampak jelas di permukaan. Tidak mengherankan pemenang di berbagai lomba hanya sekolah tertentu. Tanpa pemerataan kesempatan sulit bagi sekolah-sekolah untuk mengembangkan potensinya.
Oleh sebab itu, mumpung KTSP masih hangat tidak ada salahnya kinerja Kantor P dan K lebih dulu dibenahi. Waktu mendatang seyogianya Depdiknas lebih adil memfasilitasi kepentingan sekolah. Arus perubahan yang kini tengah bertiup kencang jangan sampai padam. Semua hanya butuh kemauan baik belaka.
M BASUKI SUGITAGuru, Tinggal di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah

Gugat Peran Pabrik Rokok

Suara Merdeka 27 Agustus 2005
Menggugat Peran Pabrik Rokok
Oleh: M Basuki Sugita
COBA tengok program acara televisi swasta nasional setiap hari, utamanya selepas pukul 21.00. Bertaburan ragam acara menarik yang disponsori perusahaan rokok (PR), termasuk pabrik yang berdomisili di Kudus.
Mulai acara bertajuk panggung rakyat, musik, dagelan, sampai dunia olahraga khususnya sepak bola. Boleh dikatakan selepas pukul 21.00 kehidupan televisi swasta "tergantung" kebaikan hati para juragan rokok kretek terutama dari Kudus.
Kompetisi Seri A Italia, Premiership Inggris, La Liga Spanyol, babak kualifikasi Liga Champion, sampai Piala Libertadores bisa disaksikan gratis jutaan pecandu sepak bola Tanah Air berkat guyuran uang majikan di Kudus.
Bahkan, salah seorang majikan rokok Kudus bersedia menjadi sponsor tunggal kompetisi sepak bola nasional.
Kita bisa nonton konser live grup musik seperti Dewa, Padi, dan Jikustik - gratis pula - dari rumah, juga dari sebagian hasil keuntungan penjualan rokok kretek. Grup musik mancanegara seperti Deep Purple, Blue, dan Westlife bisa manggung di Jakarta juga karena rokok. Kalau para juragan rokok di Kudus tidak royal keluar uang, tayangan acara televisi jadi sepi.
Jika ada data resmi kota tingkat kabupaten di Tanah Air yang sering nongol di layar televisi, maka Kudus akan menduduki peringkat teratas. Slogan "Kudus Kota Kretek" selain untuk menyiasati pembatasan jam tayang iklan rokok, juga membangkitkan kebanggaan warga Kudus.
Harus diakui roda ekonomi Kudus sangat tergantung maju mundurnya perusahaan rokok kretek. Di Kudus terdapat puluhan PR baik berskala kecil, menengah sampai kelas besar. Sebagian besar di antaranya merupakan perusahaan yang dapat digolongkan PR rumahan dan musiman.
Artinya, hanya punya buruh kurang dari lima orang saja dan berproduksi pada bulan-bulan tertentu saja. Untuk PR kelas besar dan bermodal kuat tergabung dalam Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK).
Dari sekitar 120.000 buruh berbagai sektor industri di Kabupaten Kudus, sebagian besar (sekitar) 90.000 orang merupakan buruh rokok kretek. Mayoritas buruh rokok sendiri merupakan buruh borong.
Meski hanya didukung belasan perusahaan saja, PR yang tergabung di PPRK mencapai hampir 90 persen buruh rokok Kudus. Sehingga kebijakan PPRK sangat memengaruhi nasib dan taraf hidup sebagian besar warga Kudus.
Selama ini bidang pendidikan belum sekalipun tersentuh kesepakatan kerja bersama (KKB) antara PPRK sebagai wakil perusahaan dan wakil buruh di Serikat Pekerja (SP) Pengurus Cabang (PC) Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (RTMM) Kudus.
Kita ketahui bersama maju mundurnya suatu bangsa selain diukur dari sisi tingkat usia juga sejauh mana kualitas pendidikan yang dimilikinya.
Sumbangsih pendidikan bagi keluarga besar buruh rokok kretek akan memberikan dampak signifikan bagi peningkatan kualitas pendidikan di Kudus pada umumnya.
Dibutuhkan kearifan dan kebijaksanaan penuh untuk mendukung ide sekolah anak-anak buruh rokok. Memang tidak salah majikan PR keluar uang miliaran rupiah di televisi. Karena dari iklan inilah nanti dipetik keuntungan di kemudian hari untuk membiayai perusahaan. (54)
Penulis adalah guru Matematika SMP Keluarga Kudus.