Selasa, 29 Juli 2008

Buku Pelajaran

Kompas, 10 September 2007
Buku Pelajaran dan Kerelaan Guru "Berpuasa"
M Basuki Sugita
Masalah pengadaan buku pelajaran sekolah sejak lama dituding menjadi salah satu penyebab mahalnya biaya pendidikan di Tanah Air. Rencana pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan dana buku pelajaran patut dihargai. Rekan Hendro Martono (Kompas, 27/8) telah menulis panjang lebar persoalan buku pelajaran, salah satunya berkaitan dengan guru sebagai sumber belajar.
Namun, Hendro Martono sebagai seorang pelaku pendidikan terjebak masalah persoalan buku pelajar dengan sumber dana utamanya dana bantuan operasional sekolah (BOS) reguler dan BOS buku. Intinya, pengadaan buku pelajaran sekolah butuh biaya besar dan itu harus dipenuhi pemerintah. Tanpa kemauan baik pemerintah dikhawatirkan persoalan buku pelajaran tidak terpecahkan.
Di tengah karut-marut dunia pendidikan di Tanah Air, muncul pertanyaan menggelitik: apakah sekolah mampu menyediakan buku pelajaran gratis bagi anak didik mereka? Jawabannya bisa, asal guru dan juga sekolah rela "puasa". Artinya, pengadaan buku pelajaran tidak melihat kisaran fee keuntungan, tetapi semata demi kemajuan pendidikan anak didik.
Untuk menjawab persoalan di atas kita harus tahu lebih dulu mekanisme penjualan buku pelajaran sekolah dewasa ini. Harus diakui dan sudah jadi rahasia umum, mahalnya harga buku pelajaran, terutama berkaitan dengan masalah fee. Kisaran besaran fee inilah yang membuat sekolah tidak ubahnya medan pertempuran antarpenerbit buku. Rebutan nilai fee buku mendorong sekolah dan guru saban tahun rajin menjual buku pelajaran kepada anak didik mereka.
Fee buku pelajaran sekolah jamak dinikmati guru/sekolah sampai pejabat tertinggi instansi terkait di daerah. Mekanisme yang berlaku umum, nilai 50 persen dari harga jual buku pelajaran, penerbit buku sudah meraup untung. Sisanya, yang 50 persen dari harga buku pelajaran, "dimainkan" tenaga penjual (sales) dan distributor guna melicinkan nilai penjualan. Untuk guru/sekolah jamak mendapat bagian 35-42,5 persen, bergantung nilai pembelian. Adapun pejabat instansi terkait sekitar 2,5 persen dan sisanya menjadi bagian tenaga penjual buku.
Misalkan harga sebuah buku pelajaran Rp 50.000, berarti dengan nilai jual 50 persennya saja (baca: Rp 25.000 per buku), penerbit sudah dapat keuntungan. Sisa harga buku yang separuhnya inilah yang menjadi "bancakan" banyak pihak.
Mekanisme penjualan buku ini juga menjadi sumber ketidakadilan. Orangtua murid yang keluar uang justru jarang menikmati fee keuntungan buku pelajaran sekolah. Justru fee keuntungan dinikmati pihak lain yang sama sekali tidak pernah keluar uang sepeser pun.
Lantas, bagaimana cara pengadaan buku pelajaran gratis? Keputusan penggratisan buku pelajaran harus dirapatkan dewan guru.
Tujuannya agar di kemudian hari semua sepakat "puasa" tidak mendapat bagian fee keuntungan beli buku pelajaran. Kemudian setiap guru dibebaskan memilih buku pelajaran untuk anak didiknya.
Berangkat dari pengalaman
Berdasarkan pengalaman kami, setelah harga buku berkurang 50 persen, biaya pengadaan buku pelajaran jauh terasa ringan. Sumber dana pembelian buku pelajaran bisa diambilkan dari BOS reguler dan BOS buku.
Setelah buku pelajaran dibeli sekolah, buku lantas dipinjamkan kepada seluruh anak didik dengan sistem sewa cukup Rp 1.000 per buku untuk keperluan administrasi. Misalkan, sekolah mampu membelikan 10 buku pelajaran, berarti orangtua hanya keluar ongkos Rp 10.000 saja. Jauh lebih murah daripada orangtua murid membeli sendiri, bisa mencapai Rp 400.000 untuk 10 buku. Nanti, pada akhir tahun pelajaran, buku sekolah yang dipinjam anak ditarik kembali. Tahun pelajaran berikutnya buku itu dipinjamkan lagi kepada adik kelas.
Untuk menjamin buku sekolah tetap terawat, perlu dibuat aturan baku yang disepakati bersama antara sekolah, wali murid, dan komite sekolah. Aturan itu antara lain buku sekolah harus disampul, tidak boleh dicoret-coret supaya tetap bersih, buku yang hilang jadi tanggungan wali murid dan harus menggantinya dengan buku baru sejenis, serta buku dikembalikan sebelum akhir tahun pelajaran.
Sistem pinjam bergulir itu punya dua tujuan utama. Pertama, meringankan beban keuangan orangtua siswa. Kedua, murid punya nilai sosial dan kebersamaan tinggi di antara mereka.
Para murid disadarkan untuk tetap merawat buku pinjaman karena tahun depan buku dimaksud digunakan adik kelas. Dari penyadaran itu murid diingatkan untuk bisa selalu membantu orang lain/adik kelasnya.
Pengalaman yang diperoleh penulis selama ini meski aturan sudah dibuat baku dan mengikat, sekitar 10 persen buku pinjaman nanti bermasalah. Masalah utama adalah menjaga kebersihan halaman buku. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian wali kelas saat menerima kembali buku yang dipinjam siswa.
Sistem pinjam bergulir di satu sisi juga menguntungkan sekolah. Pada tahun berikutnya sekolah tidak terlalu terbebani soal pengadaan buku sekolah. Anggaran dari BOS reguler dan buku bisa membeli buku pelengkap dan buku referensi guru atau kebutuhan sekolah lain, seperti pengadaan buku perpustakaan.
Apabila dana BOS pada akhirnya dihentikan pemerintah, sekolah sudah punya buku paket lengkap untuk anak didik. Apabila kurikulum berganti, buku sistem pinjam bergulir itu bisa sebagai buku pelengkap perpustakaan. Kelemahan utama sekolah dewasa ini—jika kurikulum berganti—buku lama langsung dilego. Kiloan lagi.
Pergantian kurikulum ternyata tidak mutlak mengubah total materi mata pelajaran. Satu-dua materi baru saja yang disisipkan, menggantikan materi lama. Buku kurikulum lama tetap bisa digunakan sebagai tambahan materi pelajaran.
Penulis sampai saat ini selama mengajar Matematika tetap memakai buku pegangan terbitan tahun 1980 keluaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kalau mau jujur, banyak buku Matematika terbitan pemerintahan reformasi ternyata mengutip buku lama (Kurikulum 1975) tersebut.
Tentu saja pejabat instansi terkait jarang yang minta sekolah melaksanakan sistem buku pinjam bergulir. Karena setiap tahun pelajaran baru sekolah membeli buku pelajaran lagi, mereka dipastikan dapat keuntungan fee yang sangat lumayan.
Apa boleh buat, demi meringankan beban orangtua murid, sekolah perlu kecerdikan tersendiri tanpa harus menunggu instruksi pemerintah.
M Basuki Sugita Guru Matematika SMP Keluarga Kudus, Jawa Tengah
Prev: Analisis Ekonomi, Kompas 10 September 2007Next: Manajemen, Kompas 10 September 2007

Tidak ada komentar: