Selasa, 29 Juli 2008

Dagelan Itu Bernama Ujian Nasional

Dagelan Itu Bernama Ujian Nasional
Kompas, 15-08-05
Hasil ujian nasional tahun pelajaran 2004/2005 tingkat SMP dan SMA atau sederajat telah diumumkan akhir Juni lalu. Banyak siswa gagal menembus nilai 4,26 alias tidak lulus. Muncul komentar yang mengeluhkan rendahnya kualitas pendidikan nasional. Wakil Presiden Jusuf Kalla merasa prihatin dan akan berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di sejumlah daerah yang pada kenyataannya masih tertinggal (Kompas, 2 Juli 2005).
Keluhan masyarakat tidak salah. Kualitas pendidikan nasional memang sudah sangat memprihatinkan. Namun jika diamati secara arif, ketidaklulusan siswa untuk tahun pelajaran 2004/2005 ini sebenarnya bisa lebih tinggi dari angka yang sudah diumumkan pemerintah. Artinya, banyak siswa berkualitas rendah ternyata lulus ujian.
Tulisan di bawah ini akan membahas penyebab kelulusan seorang siswa. Berdasar pengamatan, pengalaman penulis, ditambah pengakuan para siswa yang ”kebetulan” lulus ujian, ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan. Pertama, siswa tidak lulus ujian karena memang berkualitas rendah. Kedua, ternyata siswa lulus ujian belum tentu berkualitas tinggi. Karena sejumlah faktor X bisa saja siswa berkualitas rendah lulus ujian.
Perlu dipertanyakan apa benar hasil UN mencerminkan kualitas pendidikan setiap sekolah/daerah? Perlu diketahui, salah satu tujuan UN untuk memetakan tingkat kemajuan kependidikan suatu daerah.
Bahan tulisan ini dari perbandingan latihan UN (pertengahan April) dan UN (awal Juni) tahun pelajaran 2004/2005 tingkat SMP di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Khususnya mata ujian Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Data perbandingan diambil dari tes tertulis di 43 SMP di Kudus. Kecuali tiga SMP, yakni SMP Negeri 1 Kudus, SMP Negeri 1 Jati, dan SMP Negeri 3 Bae yang ujiannya pakai sistem contextual teaching learning (CTL).
Saat latihan UN ternyata dari 43 SMP peserta tes hanya ada 4 SMP yang lulus ujian. Sementara 39 SMP lain dinyatakan tidak lulus ujian. Meskipun satu SMP dinyatakan lulus, bukan berarti semua siswa di sekolah tersebut lulus uji coba. Begitu juga sebaliknya. Ketidaklulusan sekolah dapat dibaca mayoritas siswa disekolah tersebut memiliki nilai di bawah ambang batas kelulusan. Diperkirakan ada 5.000 siswa tidak lulus uji coba UN dari sekitar 6.800 peserta. Materi disiapkan pihak Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) setempat mengacu kriteria kelulusan UN.
Meski berlabel latihan UN, tidak urung banyak pihak kebakaran jenggot. Mengomentari jebloknya hasil latihan UN di Kudus, Kepala Dinas P dan K Jawa Tengah Suwilan Wisnu Yuwono mengatakan, ”Biasanya soal untuk uji coba dibuat sulit untuk merangsang siswa agar nilai ujian nasional bisa bagus” (Kompas, 6 Juni 2005).
Dari tabel 1, 2, dan 3 dilihat sepintas apa yang dikatakan Suwilan Wisnu Yuwono masuk akal. Dapat dibaca, ke-43 SMP di Kudus mampu meningkatkan kualitas pendidikan dalam tempo sekejap. Angka ketidaklulusan mampu diminimalkan dari sekitar 5.000 siswa menjadi 979 siswa saja. Nilai rata-rata ketiga mata pelajaran juga meningkat cukup signifikan.
Mengingat kenaikan nilai dialami hampir semua peserta tes, banyak muncul pertanyaan. Contoh sebuah SMP, latihan UN jumlah rata-rata ketiga mata pelajaran hanya 10,79. Namun saat UN nilai meningkat dua kali lebih menjadi 23,31. Dari sekolah tersebut kenaikan sangat tinggi untuk mata pelajaran Matematika. Nilai rata-rata latihan hanya 2,25, tapi saat UN meningkat hampir 4 kali lipat menjadi 8,77. Dari sisi pendidikan mana yang bisa menjawab fenomena kenaikan drastis nilai seperti terjadi di Kudus ini?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kali pertama dilihat proses pra-UN di sekolah. Sejak nominasi peserta ujian, strategi menyiasati UN sudah dilakukan. Aturannya, satu ruang ujian diisi maksimal 20 siswa. Mereka duduk berlima ke belakang. Siswa pandai dinominasikan duduk di deret ketiga atau di tengah ruang ujian dan ”dikelilingi” siswa yang lain. Usulan nominasi ini biasanya diterima Diknas. Tapi di sejumlah daerah urutan nominasi memakai sistem urut nomor induk siswa.
Tata letak bangku dan kursi siswa punya andil ”meluluskan” siswa. Pada umumnya ruang kelas SMP relatif kecil, berukuran 7 x 7 m. Jarak tempat duduk peserta ujian relatif cukup dekat. Jarak siswa depan-belakang sekitar 0,5 m dan kanan-kiri 1 m saja. Ditambah model soal UN pilihan ganda, sah-sah saja peserta ujian sering lihat kiri-kanan, utamanya ”melirik” hasil kerja teman yang pandai. Banyak siswa mengaku untuk mengerjakan 30 soal, mereka hanya butuh 10 menit untuk menjawab. Celakanya, Peraturan Mendiknas Nomor 1/2005 tentang Ujian Nasional tahun pelajaran 2004/2005 tidak mengatur tata ruang UN secara mendetail. Hanya disebutkan, ruang ujian harus memenuhi syarat antara lain aman dan memadai.
Memang satu ruang dijaga dua pengawas (guru) lain sekolah yang dibayar Rp 15.000 per orang dipotong pajak 10 persen, untuk terus mendelik selama 120 menit. Tapi apa pengawas betah duduk terus? Perlu dipahami, banyak pengawas sering ngantuk, ngobrol satu sama lain, dan sesekali mencuri waktu keluar ruang tes untuk merokok.
Juga ada kedekatan emosional antara siswa dan guru saat UN. Ucapan ”siswa yang Anda jaga juga tidak lain murid Anda sendiri”, acapkali membuat bimbang para guru. Di satu pihak guru harus mengamankan kualitas pendidikan nasional, di sisi lain guru tidak tega anak didiknya gagal.
Seberapa valid kualitas kelulusan UN, Balitbang Depdiknas bisa mengecek silang dengan nilai rapor hasil rata-rata 3 tahun siswa belajar. Misal, siswa bernama A nilai UN Matematika mendapat 9,67. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai rata-rata rapornya selama tiga tahun belajar. Dari perbandingan ini bisa ditarik kesimpulan apakah nilai UN siswa bersangkutan valid atau tidak. Tentu saja jika si siswa memang berkualitas seperti yang diharapkan, nilai rata-rata rapor tidak jauh dari angka 9,67.
Dari contoh kasus di atas, Departemen Pendidikan Nasional tidak boleh gegabah mengambil nilai UN sebagai standar kemajuan pendidikan suatu daerah. Jika carut-marut UN tidak segera dibenahi, tidak salah banyak pihak mengatakan UN hanya dagelan belaka. Toh lulus atau tidak hanya ditentukan 3 kali 120 menit saja. Bukan hasil belajar tiga tahun.
Ingat, kita hidup di bumi Indonesia bukan di Karang Tumaritis: negeri pewayangan tempat tinggal Gareng dan Petruk yang penuh dagelan saban hari.
M Basuki Sugita Guru SMP di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah

Tidak ada komentar: