Selasa, 29 Juli 2008

Harga Diri Sekolah Tergadai Bimbel

Harga Diri Sekolah Tergadai Bimbel
Kamis, 3 April 2008 10:41 WIB
Oleh M Basuki Sugita
Bulan ini merupakan waktu sibuk setiap satuan pendidikan menyiapkan anak didiknya menghadapi ujian nasional yang diagendakan bulan April dan Mei mendatang. Menjelang Hari H, pihak sekolah mengadakan beberapa kali uji coba yang diikuti siswa kelas VI sekolah dasar, kelas IX sekolah menengah pertama, dan siswa kelas XII sekolah menengah atas.
Sejak tiga tahun terakhir, marak setiap menjelang UN satuan pendidikan mengadakan kerja sama dengan lembaga nonprofit, seperti bimbingan belajar (bimbel). Kerja sama itu meliputi pembuatan soal, percetakan soal-soal latihan UN, sampai proses penilaian lembar jawab komputer (LJK). Praktis sekolah setor sejumlah uang, soal-soal latihan tersaji tinggal dibagikan kepada siswa. Selesai dikerjakan, LJK dikembalikan ke bimbel dan seminggu kemudian sudah muncul daftar nilai hasil latihan UN lengkap dengan peringkat siswa.
Hubungan baik satuan pendidikan dengan bimbel ironisnya direstui pejabat terkait di daerah. Terbukti, latihan bersama yang dimotori Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) jamak menggunakan soal-soal berlabel bimbel. Bukan soal latihan UN saja ditangani bimbel. Kerja sama tersebut sudah merambah hingga pembuatan soal tes semesteran, bahkan sampai soal ulangan harian.
Budaya instan yang dikembangkan sekolah sebenarnya justru mencoreng harga diri pelaku pendidikan itu sendiri. Mengapa pelaku pendidikan enggan membuat soal-soal sendiri yang seharusnya menjadi tugas pokok seorang guru? Siapa yang diuntungkan dari bisnis latihan UN?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III (2005) terbitan PT Balai Pustaka, sekolah diartikan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran atau tempat usaha menuntut kepandaian. Bimbingan diartikan petunjuk (penjelasan) cara mengerjakan sesuatu, tuntunan, dan pimpinan.
Dalam konteks keseharian, bimbel diartikan masyarakat luas sebagai tempat layanan khusus untuk menyiasati soal-soal ulangan harian sekolah, kenaikan kelas, UN, sampai persiapan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB).
Bukan rahasia lagi, setiap menjelang UN, peredaran uang di lingkup pendidikan cukup kencang. Faktor fulus menjadi penentu utama kebijakan membeli soal-soal dari bimbel. Harga pasaran paket soal latihan UN tingkat SMP dipatok bimbel berkisar Rp 20.000 per siswa, di luar biaya administrasi latihan dan honor guru jaga. Nilai harga tadi sudah mencakup soal paket A dan B (sesuai standar UN) sampai pengolahan LJK siswa peserta latihan UN.
Supaya kelangsungan kerja sama lancar saban tahun, pengelola bimbel kebanyakan merekrut tenaga guru sekolah-sekolah favorit atau guru inti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang juga penentu kebijakan pendidikan di daerah.
Sulit menolak anggapan usaha lembaga bimbel bertujuan murni meningkatkan taraf pendidikan. Seperti halnya usaha bidang lain, keuntungan materi menjadi salah satu pertimbangan pendirian bimbel. Padahal, ikut belajar di bimbel tidak murah biayanya. Sebagai contoh, di Kudus, biaya bimbel termurah untuk kelas IX SMP berkisar Rp 1,35 juta hingga Rp 1,65 juta per tahun. Untuk biaya Rp 1,35 juta terinci uang pendaftaran Rp 50.000, biaya sarana dan fasilitas Rp 400.000, serta biaya bimbingan Rp 900.000.
Seminggu siswa peserta bimbel masuk tiga kali, masing-masing dua jam. Materi yang didapat mata pelajaran UN (Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Ilmu Pengetahuan Alam). Fasilitas yang didapat adalah modul soal-soal latihan, suplemen, trik-trik pengerjaan soal, serta evaluasi rutin per bulan.
Sekolah formal tingkat SMP negeri menarik sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) berkisar Rp 25.000 per bulan atau Rp 300.000 per tahun. Swasta berkisar Rp 60.000 per bulan atau Rp 720.000 per tahun. Di luar biaya lain, seperti buku-buku pelajaran yang mencapai Rp 350.000. Belajar formal tatap muka per minggu 38 jam pelajaran, masing-masing 40 menit atau jauh lebih banyak dibanding belajar di bimbel.
Kerugian
Ada sejumlah faktor kerugian yang muncul dari pembelian soal latihan UN bimbel. Pertama, guru tidak terbiasa membuat soal sendiri. Padahal, tugas utama guru mengajar, mendidik, dan mengevaluasi kinerja anak didiknya sendiri. Bisa diartikan, mata rantai tugas guru terpotong hanya karena alasan bisnis semata.
Tanpa terbiasa membuat soal dan mengevaluasi kinerja siswa, kerja guru hanya sebagai "tukang ngajar" belaka. Kedua, harga diri guru dan sekolah jatuh di mata siswa dan orangtua. Sebab, siswa pasti tahu dari kop lembar soal dan lembar jawab bahwa soal-soal yang mereka kerjakan bukan karya gurunya sendiri, tetapi pihak lain.
Ketiga, harga beli soal bimbel jatuhnya lebih mahal, berarti memberatkan keuangan orangtua siswa. Ditangani sendiri, biaya per paket soal latihan UN tingkat SMP (empat mata pelajaran) hanya berkisar Rp 18.000 per siswa, sudah termasuk biaya administrasi dan honor guru jaga.
Besar kemungkinan ketergantungan para siswa terhadap bimbel semakin terasa dari tahun ke tahun. Apalagi, pelaksanaan UN-meski ditentang banyak pihak-kemungkinan besar terus dikembangkan pemerintah. Ditambah lagi, jumlah mata pelajaran yang di-UN-kan terus tambah banyak. Bahkan, ada kecenderungan sekolah justru lebih terasa sebagai bimbel dibanding lembaga pendidikan formal.
Yang terasa unik dan menarik, orangtua siswa tidak keberatan mengeluarkan biaya banyak untuk ikut bimbel. Namun, ketika sekolah sebagai lembaga formal menambah biaya sedikit saja, sudah diprotes orangtua murid. Kondisi harus membuat pelaku pendidikan waspada. Tanpa perubahan sikap, boleh jadi lembaga pendidikan formal seperti sekolah akan "ditinggal" murid.
Ketergantungan sistem pengajaran kepada pihak luar lambat laun merusak sistem pendidikan nasional. Asal diberi kepercayaan luas, para guru pasti mampu membuat soal sendiri yang berkualitas. Semua memang tergantung kepada penentu kebijakan satuan pendidikan itu sendiri. Apakah harga diri sekolah pantas tergadai?
Ada benarnya tulisan AA Navis dalam novel berjudul Robohnya Surau Kami. "....Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat bodoh manusia sekarang yang tak hendak memelihara apa yang dijaganya lagi."
M Basuki Sugita Pendidik Tinggal di Kaliputu Kudus, Jawa Tengah

Tidak ada komentar: