Selasa, 29 Juli 2008

Identitas Guru Pengawas (Terpaksa) Dipalsukan

Humaniora
Senin, 29 Mei 2006
Identitas Guru Pengawas (Terpaksa) Dipalsukan
M Basuki Sugita
Ingar-bingar Ujian Nasional tahun pelajaran 2005/2006 tingkat sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama baru saja usai. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pro dan kontra masih mewarnai pelaksanaan UN. Nasib jutaan siswa kelas III tinggal menunggu hasil pengumuman kelulusan untuk tingkat SMA tanggal 19 Juni dan SMP tanggal 26 Juni 2006.
Tetapi, tidak banyak yang tahu. Di balik pelaksanaan UN yang menelan biaya ratusan miliar rupiah, khusus tahun pelajaran 200/2006 ini puluhan ribu guru pengawas terpaksa mengantongi identitas palsu. Kebijakan yang kurang masuk akal ini terpaksa ditempuh demi kesuksesan pelaksanaan UN itu sendiri. Tanpa pemalsuan identitas guru pengawas bisa dipastikan UN tahun ini gagal dilaksanakan. Karena jumlah pengawas tidak mencukupi total ruang ujian yang tersedia.
Pemalsuan identitas guru pengawas berkaitan erat dengan ketentuan Prosedur Operasi Standar (POS) tentang Ujian Nasional (UN) tahun pelajaran 2005/2006 yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) selaku penanggung jawab UN. Ketentuan pengawas UN sesuai pedoman BSNP untuk butir 5 disebutkan, guru mata pelajaran tidak diperbolehkan mengawasi pelaksanaan UN untuk mata pelajaran yang diujikan.
Sesuai peraturan itu berarti tidak semua guru boleh mengawasi UN. Hanya guru pemegang mata pelajaran di luar mata uji UN boleh jadi pengawas. Para guru yang dilarang keras BSNP ikut mengawasi UN untuk tingkat SMA adalah pemegang mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Asing, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ekonomi. Adapun tingkat SMP untuk guru Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.
Peraturan yang diterbitkan BSNP diduga bertujuan meminimalkan pelanggaran pelaksanaan UN. Dikhawatirkan para guru yang disebutkan di atas akan mampu menjawab soal-soal UN dan pada gilirannya disebarluaskan kepada anak didiknya. BSNP sangat yakin guru di luar pemegang mata pelajaran yang diujikan tidak akan mampu menjawab soal-soal UN.
Bagaimana identitas guru pengawas dapat dipalsukan? Pertama-tama harus diketahui lebih dulu mekanisme pembagian tugas UN yang sudah dibakukan Depdiknas. Pembagian tugas ini meliputi penyebaran soal-soal ujian, pelaksanaan ujian, pengembalian berkas lembar jawaban komputer (LJK) sampai pembagian Daftar Nilai Hasil Ujian Nasional (DNHUN) dan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN).
Depdiknas sudah memetakan peserta ujian dari tingkat provinsi yang ditandai dua digit nomor. Misalkan Provinsi Jateng bernomor 03, kemudian 2 digit berikutnya menunjukkan kabupaten/rayon, misalnya, Kabupaten Kudus bernomor 19. Satu rayon dibagi lagi menjadi beberapa subrayon (dua digit) setingkat kecamatan yang terdiri sekitar 8 sampai 10 sekolah. Setelah itu kode masing-masing sekolah (3 digit) dan nomor urut peserta ujian (3 digit). Jadi peserta ujian bernomor 031902xxxxxx berasal dari sebuah sekolah di Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Dari pengalaman pelaksanaan UN selama ini, semua kebijakan antarrayon dan antarsubrayon hampir dipastikan sama. Namun, baru UN 2005/2006 ini kendala ketentuan guru pengawas jadi topik pembicaraan hangat. Pasalnya kalau ketentuan BSNP tentang guru pengawas khususnya butir 5 dilaksanakan utuh dan konsekuen bisa jadi UN gagal dilaksanakan. Karena subrayon sebagai ujung tombak UN akan kekurangan guru pengawas.
Seperti diketahui, sudah ditentukan satu ruang berlangsungnya UN maksimal diisi 20 peserta didik yang harus dijaga 2 orang guru pengawas. Misalkan SMP A ada 100 peserta didik peserta UN berarti harus tersedia 5 ruang ujian. Dengan sistem silang murni berarti SMP A harus mengirimkan minimal sebanyak 5 kali 2 atau 10 guru pengawas ke lain sekolah. Sisa guru tinggal di tempat sebagai panitia UN setempat. Sementara SMP A tersebut oleh subrayon akan mendapat maksimal 12 guru pengawas dari lain sekolah di mana 2 di antaranya tercatat sebagai pengawas cadangan.
Guru pengawas secara sah dapat menjadi pengawas di lain sekolah harus dibekali surat keterangan berisi identitas nama dan mata pelajaran yang diembannya sehari-hari. Surat keterangan dibuat rangkap dua, yakni satu ditujukan ke sekolah yang dituju dan satu lagi arsip di subrayon.
Dari persoalan di atas sulit memenuhi ketentuan BSNP. Ketentuan BSNP bisa diberlakukan untuk sekolah tertentu saja. Dalam arti, guru mata pelajaran yang ujikan UN tidak jadi pengawas. Misalkan, sekolah dengan jumlah guru relatif banyak (sekolah-sekolah favorit). Sementara sekolah-sekolah pinggiran dengan jumlah guru terbatas sulit memenuhi ketentuan BSNP.
Akibatnya, banyak sekolah dengan kesadaran penuh melanggar rambu-rambu guru pengawas. Guru yang ditunjuk kemudian dipalsukan identitasnya. Khususnya yang menyangkut identitas mata pelajaran yang diajarkan. Tidak mengherankan dalam surat keterangan seorang guru Bahasa Inggris bisa ditulis pengajar Olahraga. Atau sehari-hari mengajar Matematika di surat keterangan tercantum pengajar Kesenian.
Lantas siapa yang patut dipersalahkan dalam kasus pemalsuan identitas guru pengawas? Pihak sekolah dan guru semata-mata memenuhi ketentuan kuorum jatah pengiriman pengawas yang harus dipenuhi. Subrayon juga sulit disalahkan karena tanggung jawab surat keterangan adalah sekolah bersangkutan. Pejabat P dan K setempat juga tidak patut disalahkan. Kalau guru mata pelajaran UN tidak boleh ikut mengawasi UN bisa-bisa pelaksanaan UN terhambat. Kekurangan guru pengawas mau minta kepada siapa?
Kalau mau jujur, pihak BSNP yang patut dipersalahkan dalam kasus pemalsuan identitas pengawas UN. Karena, BSNP mengeluarkan kebijakan yang tidak melihat kondisi nyata di lapangan. BSNP agaknya melihat masalah UN yang menyangkut guru pengawas hanya di kota-kota besar saja. Sampai detik ini di sekolah-sekolah swasta dan sekolah negeri pinggiran banyak guru yang mengajar melebihi batas maksimal. Hal ini terjadi karena masih kurangnya jumlah guru.
Saran untuk BSNP, jika mengeluarkan sebuah kebijakan sebaiknya dengan melihat kondisi nyata di lapangan.
Agaknya BSNP sekali-kali perlu datang ke daerah menggali informasi lebih mendalam. Jika sebuah kebijakan sulit dikondisikan di lapangan, tidak perlu diberlakukan. Jangan sampai untuk mendukung sukses UN, para guru terpaksa membohongi dirinya sendiri.
M BASUKI SUGITA Guru Pengawas UN Tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Tidak ada komentar: