Selasa, 29 Juli 2008

Kantin Kejujuran

Kantin Kejujuran Bukan Sekadar Proyek
Kompas Jateng, Rabu, 16 Juli 2008 14:00 WIB
Oleh M Basuki Sugita
Untuk membentuk perilaku antikorupsi, Kejaksaan Agung bersama Karang Taruna Nasional mencanangkan Program Pembinaan Taat Hukum. Salah satu program ini pembentukan kantin kejujuran atau kanjur di sekolah tingkat dasar sampai sekolah menengah atas. Diharapkan dari kanjur tertanam mental anak jujur sehingga generasi mendatang lebih berperan aktif melawan korupsi.
Untuk menyukseskan program kanjur, pihak kejaksaan, dinas pendidikan, dan pemerintah daerah ramai-ramai memberi bantuan dana. Seperti di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (Kompas, 2/7), setiap kanjur dibantu dana Rp 5,5 juta. Terinci pemkot setempat menyumbang Rp 2,5 juta, serta kejaksaan, dinas pendidikan, dan kecamatan masing-masing Rp 1 juta.
Program Pembinaan Taat Hukum seperti pendirian kanjur nanti akan disebarluaskan ke setiap provinsi. Di Jawa Tengah sendiri kerja sama serupa sudah ditandatangani akhir April di SMA Negeri 3 Semarang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), jujur artinya lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Kejujuran dapat diartikan sifat keadaan jujur, ketulusan hati dan kelurusan hati.
Menurut buku panduan warung kejujuran (warjur) tingkat pelajar terbitan Komisi Pemberantasan Korupsi, salah satu nilai dasar yang perlu ditanamkan dalam pembentukan perilaku antikorupsi adalah nilai kejujuran. Apabila pelajar sejak dini memiliki dan mampu menerapkan nilai kejujuran keseharian, diharapkan untuk jangka waktu ke depan pelajar mampu senantiasa berperilaku jujur.
Tentu langkah Program Pembinaan Taat Hukum patut diapresiasi tinggi. Namun, jangan lupa mengelola warjur atau kanjur butuh semangat dan pengorbanan tinggi. Kanjur bukan sekadar membuka kantin tanpa penjaga belaka. Lebih dari itu, diperlukan kemauan keras segenap guru untuk berani melawan arus sosial.
Intinya guru sebagai motor penggerak kanjur harus berani tampil ke depan memberi contoh. Guru juga bertindak sebagai agen perubahan sosial mengajak para siswa mengkritisi kondisi sosial dan budaya masa kini. Keberanian para guru adalah syarat mutlak kanjur berjalan sukses. Tanpa kemauan keras para guru, program kanjur hanya seumur jagung. Lebih penting lagi kanjur jangan dilihat sebagai proyek bagi- bagi uang.
Di tempat kerja penulis, Sekolah Menengah Pertama Keluarga (SMPK) Kudus, kanjur adalah salah satu pelengkap program Pendidikan Antikorupsi (PAK) yang diajarkan sejak 19 Desember 2005. Warjur dan juga telepon kejujuran (teljur) didirikan sebagai indikator program pembelajaran PAK, dimaksud untuk mengetahui seberapa sikap jujur keseharian para siswa.
Supaya semangat kejujuran para siswa tampak, semua program pembelajaran keseharian "didorong" bernuansa antikorupsi. Para siswa senantiasa diingatkan bahwa negara kita tercinta sekarang ini sedang menghadapi masalah besar, yaitu korupsi. Masalah itu bisa diminimalkan salah satunya mengajarkan kejujuran para siswa.
Sesuai analisis pastoral 03-06 Keuskupan Agung Semarang, bangsa Indonesia saat ini menghadapi empat tantangan, yaitu korupsi, aksi kekerasan, perusakan lingkungan hidup, serta kerusakan peradaban publik. Sekolah-sekolah di bawah lingkup Keuskupan Agung Semarang diwajibkan mendidik anak dalam keseharian untuk selalu bisa menjawab empat tantangan bangsa tersebut.
Transparansi segenap pelaku pendidikan sangat penting untuk membuka cakrawala berpikir siswa, untuk apa kanjur didirikan. Sikap terbuka ini akan memberi dorongan semangat siswa melakukan yang terbaik demi kehidupan bernegara dan berbangsa di masa depan. Guru tidak perlu takut dan sungkan memberi bekal siswanya. Kondisi perekonomian kita bangkrut karena keuangan negara digerogoti tikus- tikus koruptor.
Budaya antikorupsi yang coba dikembangkan dalam PAK juga mengajarkan penanaman konsep demokrasi dini. Salah satunya menggelar pemilihan ketua OSIS atau pilkao, seperti layaknya pemilu. Dalam pilkao, setiap calon wajib punya partai, lambang, dan slogan tertentu. Mereka juga wajib pidato di depan teman sekolah untuk memaparkan misi dan visi yang direncanakan.
Warjur di SMPK Kudus sampai sekarang masih tetap eksis, salah satunya disebabkan program tersebut dijalankan bukan atas perintah/kemauan pihak lain, melainkan murni muncul dari "dalam" untuk berusaha mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kejujuran kepada para siswa. Bukan berarti warjur di SMPK Kudus selalu berjalan mulus tanpa hambatan.
Beberapa kali barang di warjur hilang dicuri para siswa. Guru perlu punya keyakinan anak yang dididik bukan malaikat. Namun, sosok anak manusia yang banyak kekurangan dan perlu bimbingan ke arah lebih baik.
Sering terlintas di benak para guru untuk menutup warjur daripada susah payah mengelola. Namun, bayangan itu langsung lenyap karena para guru sadar, pembekalan kejujuran butuh waktu relatif lama dan tidak semudah membalik telapak tangan. Segala jerih payah lunas terbayar kalau ada murid menghadap guru mengaku telah mengambil barang tanpa membayar dan berjanji mengubah perilaku negatifnya.
Penulis tidak tahu apakah dana pendirian kanjur di Bekasi murni hibah atau pinjaman yang harus dikembalikan. Tanpa bermaksud menggurui, model kucuran dana untuk modal kanjur bukan langkah tepat. Kanjur bisa awet kalau semua langkah diawali dari modal mandiri tanpa bantuan pihak luar.
Sejujurnya modal utama pendirian kanjur bukan tergantung berapa banyak uang terkumpul. Lebih penting lagi kemauan segenap komponen sekolah untuk memberi bekal dan bimbingan kepada anak didik. Tanpa pemahaman kuat pada akhirnya banyak pihak patah arang di tengah jalan.
Kalau sekolah belum siap, sebaiknya kanjur tidak perlu dipaksakan didirikan. Ini karena kanjur bukan satu-satunya cara membina anak jujur. Jangan lantas menganggap kanjur sukses berarti perilaku anak didik sudah jujur. Kanjur baru langkah kecil menuju pembinaan generasi mendatang terbebas dari pengaruh korupsi.
Bagaimanapun persoalan korupsi memang perlu dilawan semua pihak. Sekolah sebagai tempat berkumpulnya calon pemimpin bangsa punya kedudukan strategis. Namun, apakah para guru khususnya dan Departemen Pendidikan Nasional pada umumnya selama ini sudah bersikap jujur. Jangan-jangan pelaku pendidikan sendiri jadi salah satu "aktor" persoalan akut bangsa bernama korupsi. M Basuki Sugita Guru Matematika SMP Keluarga di Kudus, Jawa Tengah

1 komentar:

Laura Emge mengatakan...

Pak Bas, minta ijin artikel ini saya masukkan juga sebagai alt pengumpulan data dalam penelitian.