Selasa, 29 Juli 2008

Kasparov vs KBK

Fokus
Sabtu, 25 Februari 2006
Humaniora
Depdiknas Perlu Belajar dari Pecatur KasparovKelemahan KBK adalah Soal Administrasi
M BASUKI SUGITA
Akhir tahun 1987 di gedung opera Lope de Vega, Sevilla, Spanyol. Memasuki partai terakhir ke-24 Kejuaraan Catur Dunia, posisi juara bertahan Garry Kasparov sangat genting. Menyisakan satu partai lagi, Kasparov tertinggal 11-12 dari penantangnya, Anatoly Karpov. Untuk mempertahankan gelar juara, Kasparov harus menang di partai terakhir. Berdasarkan peraturan FIDE (Federasi Catur Dunia) waktu itu, sebagai juara bertahan Kasparov hanya butuh skor sama kuat 12-12 untuk mempertahankan gelar juara.
Dalam sejarah Kejuaraan Catur Dunia, belum pernah terjadi di partai terakhir pecatur yang berada di bawah angin mampu menang dan akhirnya merebut juara. Memegang bidak putih pecatur kelahiran Baku, Azerbaijan, tanggal 13 April 1963, ini diprediksi banyak pengamat sejak langkah pertama akan langsung menggebrak pertahanan Karpov. Toh, main remis apalagi kalah bagi pecatur yang punya nama lengkap Garry Kimovich Weinstein ini sama saja. Gelar juara digondol Karpov.
Pada babak penentuan strategi yang dipakai Kasparov mengejutkan banyak pihak, termasuk penantangnya, Karpov. Alih-alih bermain agresif, Kasparov justru bermain tenang dan lamban. Strategi Kasparov jelas ingin mempertahankan bidak selama mungkin di papan catur. Dia membuka bidak c4 sebagai pengenal pembukaan Inggris, melalui pertukaran langkah menuju pembukaan reti dengan fiancetho gajah ganda.
Kasparov yang memilih varian tidak lazim membuat Karpov bermain bertahan dan memperlambat permainan. Karpov yang dikenal ahli posisional dalam permainan catur, sempat krisis dan hanya punya waktu kurang semenit untuk menyelesaikan delapan langkah. Partai ditunda di langkah 41 dengan Kasparov memasukkan langkah rahasia ke sampul. Sejarah mencatat Kasparov akhirnya menggulung Karpov melalui pertarungan sengit 64 langkah dan mempertahankan gelar juara.
Mengapa Kasparov mampu menjungkirkan sejarah catur, dari tertinggal angka sampai menang di partai terakhir untuk mempertahankan gelar juara? Ada dua aspek di sini, yakni strategi jitu yang disusun bersama para sekondan juga karena Kasparov mau belajar dari sejarah.
Kondisi menegangkan di partai terakhir persis sama di Moskwa dua tahun sebelumnya dalam perebutan Kejuaraan Catur Dunia juga antara Karpov melawan Kasparov. Di partai terakhir posisi berkebalikan dengan kejadian di Sevilla. Waktu itu Kasparov unggul 12-11 atas juara bertahan Karpov. Bertekad menang untuk mempertahankan gelar, Karpov yang pegang bidak putih langsung menyerang sejak langkah pertama. Serangan gencar mampu dibendung Kasparov dan akhirnya hasilnya tragis, Karpov kalah dan kehilangan gelar juara.
Depdiknas
Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi masalah pendidikan di Tanah Air tidak salah kalau Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mau belajar dari kepiawaian Kasparov. Boleh dibilang Depdiknas saat ini menghadapi beragam persoalan pendidikan. Mulai dari kualitas pendidikan nasional yang rendah, guru tidak mampu menjabarkan isi kurikulum secara baik dan benar, anggaran pendidikan terbilang kecil, kesejahteraan guru belum maksimal, fasilitas pendidikan minim sampai kekurangsiapan Depdiknas sendiri.
Depdiknas bisa diibaratkan Kasparov dibantu para sekondan seperti Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Sementara para guru tidak lain bidak-bidak catur. Untuk memenangkan pertandingan bidak catur digerakkan dengan strategi yang sudah disusun, tidak lain adalah kurikulum.
Dalam perjalanan waktu, tidak selamanya strategi yang sudah disusun berjalan mulus. Untuk itu diperlukan kreativitas sendiri di pihak guru, dengan melihat konteks anak didik dan daerah. Dalam buku Batsford Chess Openings yang disusun bersama GM Raymond Keene (Kompas, 1987), Kasparov menulis pilihan pembukaan reti dianggap sebagai salah satu cikal bakal gerakan hipermodern dalam teori catur. Di mana strategi permainan catur menangguhkan pecahnya perang sebelum bidak-bidak siap tempur.
Pengumuman pembatalan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau yang sering disebut Kurikulum 2004 (Kompas, 10/2) bagai petir di siang hari bolong. Betulkah KBK yang baru berumur jagung dihentikan dan diganti kurikulum baru lagi? Langkah pembatalan itu di satu sisi menunjukkan kepedulian pemerintah atas nasib KBK yang sejak awal banyak mendapat kritikan. Namun, di sisi lain juga menunjukkan strategi Depdiknas amburadul dan tidak mau belajar dari sejarah.
Memang benar KBK pernah diujicobakan di berbagai daerah. Namun, ketidakberhasilan KBK sudah dimulai dari masa uji coba tersebut. Sekolah yang ditunjuk uji coba KBK dapat berbagai fasilitas penunjang dari pemerintah, seperti pembangunan laboratorium bahasa, fisika, dan biologi. Juga ada honor khusus bagi guru yang memberi tambahan pelajaran remedial dan pengayaan. Setelah uji coba selesai, sekolah yang ditunjuk mengaku siap menjalankan kurikulum baru.
Agaknya Depdiknas lupa bahwa kondisi siap itu karena dukungan tambahan fasilitas. Tapi begitu KBK dilaksanakan menyeluruh, sekolah banyak teriak kesulitan menjabarkan isi kandungan KBK. Dalam situasi ini, KBK tidak boleh disalahkan. Bagaimanapun KBK punya maksud baik ingin mengangkat kemandekan kualitas pendidikan nasional. Tanpa dukungan fasilitas belajar memadai, KBK tidak bisa berjalan maksimal.
Sebaiknya segala uji coba yang dilakukan Depdiknas mendatang melibatkan sekolah-sekolah swasta juga. Hubungan birokrasi antara atasan dan bawahan selama ini tidak memungkinkan pengelola sekolah negeri berani mengkritisi Depdiknas yang notabene atasannya. Berbeda dengan sekolah swasta, jika menemui kejanggalan program pemerintah mereka lebih berani menyuarakan ketidakberesan tersebut.
Kelemahan KBK
Salah satu kelemahan KBK adalah persoalan administrasi yang pelik. Contoh mudah adalah pengisian rapor. Penulis pernah melakukan penelitian kecil-kecilan, ternyata ada perbedaan mendasar lama pengisian rapor kurikulum 1994 dengan sistem KBK. Sistem lama untuk satu rapor bisa selesai antara 5-7 menit. Sementara satu rapor KBK selesai 25 hingga 30 menit. Penulisan rapor bertele-tele, apalagi sistem proses penilaian ala KBK juga melelahkan. Kalau sudah begini, guru justru lebih disibukkan membereskan administrasi pengajaran, bukan meningkatkan kualitas pendidikan.
Situasi sekarang ini yang belum jelas sangat menyulitkan pihak guru. Harus disadari para guru sebagai ujung tombak kurikulum harus berhadapan langsung dengan masyarakat, bukan pejabat Depdiknas. Gonta-ganti kurikulum juga buku pelajaran mau tidak mau membebani pikiran guru.
Seyogianya sebelum kebijakan baru diluncurkan perlu pematangan konsep strategi. Uji coba perlu dimatangkan. Apa pun kurikulum pengganti KBK nanti tentu punya maksud dan tujuan baik. Tanpa strategi jitu dan terarah tidak mungkin kualitas pendidikan nasional maju.
Kasparov memakai pembukaan Inggris tentu sudah dipersiapkan secara matang. Jika misalkan memilih pembukaan gambit menteri, belum tentu ia mampu menang melawan Karpov. Tinggal sekarang bagaimana sikap Depdiknas ingin ”memenangkan” pertandingan. Apakah ingin seperti Kasparov yang merencanakan segala sesuatu secara matang sebelum melangkah kedepan? Hanya sejarah yang nanti mencatatnya.
M BASUKI SUGITAGuru, Tinggal di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah

Tidak ada komentar: