Selasa, 29 Juli 2008

Memanusiakan Anak Sekolah

Memanusiakan Anak Sekolah
M Basuki Sugita
Empat tahun terakhir sejumlah yayasan sekolah swasta di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta mulai mengembangkan pola pikir pengajaran yang dinamai Paradigma Pendidikan Refleksi alias PPR. Kemunculan PPR dilandasi keprihatinan melihat arah pendidikan nasional yang kian tidak tentu ke mana ingin dituju.
PPR menjadi semacam "obat penawar" mengatasi benang ruwet dunia pendidikan kita. PPR tidak sekadar pola pikir pengajaran belaka, tetapi juga bertujuan lebih luas: memanusiakan manusia yang bernama anak sekolah. Di sini, dalam paradigma ini, anak didik tidak sekadar dijejali materi pembelajaran. Mereka diajak berbagi pengalaman untuk mencari jati dirinya sendiri.
Secara harfiah, PPR diartikan sebagai cara berpikir/bertindak yang khas dalam dunia pendidikan dengan menekankan refleksi/pengalaman setiap siswa. Intinya, dari pengalaman hidup yang diperoleh selama ini siswa diajak merenungkan dan mengembangkan materi pembelajaran yang diperoleh dari guru.
Refleksi yang didapat antara lain dari tugas kelompok, presentasi atau membuat pekerjaan rumah (PR), atau cara lain yang bisa dikembangkan guru setelah melihat latar sosial budaya anak didik mereka. Jadi, pengalaman hidup masing-masing anak inilah yang ingin dikembangkan dalam rangka pemberian materi pembelajaran baru.
Perubahan pola pikir
Pengembangan PPR tidak memerlukan sarasehan, dialog, seminar, atau sosialisasi yang menghamburkan banyak biaya. PPR lebih ditekankan pada perubahan pola pikir pengajar di sekolah (baca: guru). Dari PPR inilah para guru diajak mengajar tidak sekadar menghabiskan materi pelajaran belaka. Lebih dari itu, guru diajak mengajar dengan segenap mata dan hati mereka. Guru di kelas tidak sekadar mengajar, tetapi juga mendidik yang sekiranya sekarang jadi barang langka.
Dari pengalaman dewasa ini tak mudah mengubah cara pandang guru di lingkup pendidikan. Pada umumnya guru di Tanah Air mengajar mengikuti dua paradigma yang sudah baku atau umum. Paradigma pertama adalah paradigma petunjuk teknis alias juknis dan petunjuk pelaksanaan alias juklak. Adapun paradigma kedua dinamai paradigma mencari hidup.
Paradigma juknis/juklak adalah pola pikir pengajaran sekadar mengikuti petuah/petunjuk Depdiknas. Waktu pengajaran di kelas dihabiskan sekadar mengikuti aturan baku yang digariskan pemerintah. Guru tidak ubahnya robot yang dituntut memenuhi aturan main kurikulum. Paradigma ini ditandai banyaknya penataran, lokakarya, dan pertemuan antarkepala sekolah untuk memuluskan langkah pemerintah menjelang pemberlakuan aturan kurikulum baru.
Sementara paradigma mencari hidup adalah guru mengajar sekadar memenuhi jatah jumlah jam mengajar. Setelah jumlah jam mengajar 24 jam per minggu terpenuhi, mereka akan mendapat gaji sesuai pangkat dan golongannya. Mengajar lebih dari 24 jam per minggu akan diberi honor lembur sesuai dengan ketentuan berlaku.
Apakah paradigma juknis/juklak dan mencari hidup itu salah? Jelas guru tidak. Bagaimanapun, seorang guru harus mengikuti aturan main kurikulum yang baku, serta perlu sokongan gaji untuk hidup.
Sebenarnya, seorang guru dengan segenap kemampuan intelektual yang dimiliki dan segudang pengalaman hidup yang dijalani bisa memberi "nilai" lebih kepada para murid daripada sekadar mengikuti petuah kaku atasan dan mencari tumpangan hidup di sekolah. Pola pikir para guru sejauh ini terus dibimbing pemerintah dan kurang diberi ruang perubahan. Kebanyakan guru menjadi semacam agen kurikulum, bukan agen perubahan.
Pada praktiknya, PPR juga memerlukan kurikulum pemerintah sebagai acuan keseharian. Bedanya pada PPR tidak terpaku pada cara menghabiskan jam pelajaran saja. Supaya materi pembelajaran bisa lebih terserap, para guru harus memberi perlakuan sama kepada para siswa. Guru harus disadarkan bahwa kualitas intelektual siswa tidak sama, juga latar belakang sosial budaya mereka. Pengajaran konvensional biasa memberi perhatian lebih kepada anak pandai dan guru jamak "mengasingkan" siswa yang berkemampuan kurang.
Di PPR, selain diberi pembelajaran keseharian para siswa juga diajak mengembangkan aspek persaudaraan, solidaritas antarteman serta menciptakan iklim antikorupsi, antikekerasan dan antiperusakan lingkungan. Pengembangan aspek kemanusiaan di atas bisa tercipta jika guru bisa menciptakan iklim kondusif di kelas.
Misalkan aspek antikorupsi dikembangkan dengan menciptakan budaya antimencontek dalam kelas. Para siswa diajak berpikir dengan pengalaman mereka: apakah mencontek tidak merugikan kepentingan orang lain? Di satu sisi ada anak belajar keras hanya dapat nilai 7. Sementara anak lain bisa nyontek berhasil meraih nilai 9.
Dari hasil perenungan inilah anak diajak berpikir lalu bertindak bahwa budaya nyontek adalah perbuatan ketidakjujuran dan harus dihapus. Dari pengalaman yang dimiliki itu, anak kemudian diajak mengembangkan pola pikir untuk tidak berbuat korupsi di kemudian hari.
Pandangan harus bisa mengalahkan anak lain dan menjadi terunggul di kelas perlu dikikis habis. Budaya ingin yang terbaik mengakibatkan anak jadi egois dan tidak mau membantu orang lain. Pada PPR, setiap siswa diajak saling membantu sesama dalam koridor tertentu guna menciptakan aspek persaudaraan.
Sebagai contoh, kelas dibentuk beberapa kelompok siswa. Satu kelompok terdiri atas empat anak. Mereka terdiri atas siswa pandai, sedang, menengah, dan kurang. Dalam kerja kelompok mereka diberi peran sama menyelesaikan pekerjaan. Setiap anak harus memberi sumbang saran tanpa memandang benar- salah jawaban mereka.
Pada proses kerja kelompok ini anak pandai diajak membantu dan membimbing siswa lain. Sementara siswa kurang pandai akan memperoleh pengalaman diperhatikan orang lain. Di kemudian hari akan muncul pengalaman saling membantu yang merupakan inti aspek persaudaraan.
Dari pengalaman empat tahun terakhir, proses PPR akan otomatis berhenti sekitar enam bulan menjelang pelaksanaan ujian nasional (UN). Bagaimanapun, para siswa ingin tetap lulus UN dan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikut. Para guru juga berpikir, untuk apa mereka mengembangkan nilai-nilai aspek kemanusiaan kalau akhirnya murid yang dicintai digagalkan UN?
Keindahan persaudaraan dan beragam pengalaman saling membantu antarteman terpaksa dipinggirkan demi kepentingan sesaat yang bernama UN. Lantas siapa yang salah?
M Basuki Sugita Kepala SMP Keluarga di Kudus, Jawa Tengah

1 komentar:

Josh mengatakan...

Bedanya PPR dengan PPI apa ya bos?