Selasa, 29 Juli 2008

PAK Alternatif hadapi tantangan bangsa

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI Alternatif UtamaHadapi Tantangan Bangsa
Kamis, 17 Januari 2008SEMARANG (Suara Karya): Pendidikan antikorupsi (PAK) ke depan sangat dimungkinkan menjadi salah satu alternatif utama dalam menghadapi tantangan bangsa yang semakin kompleks. PAK yang menitikberatkan pelajaran pada nilai-nilai kejujuran dalam praktik keseharian diharapkan juga bisa menjadi salah satu wadah bagi pendidikan kader calon pemimpin bangsa yang berwatak antikorupsi.
Demikian terungkap dalam seminar nasional bertajuk "Revitalisasi Pendidikan Nilai Aplikasi dalam Pembentukan Karakter Bangsa" di kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes), kemarin.
Dalam seminar yang menghadirkan anggota Komisi X DPR-RI Drs Munawar Sholeh, sosiolog Unnes Dr Agus Salim, serta Kepala SMP Keluarga (SMPK) Kudus Drs M Basuki Sugita itu juga dikupas bahwa potensi guru dalam menyiapkan calon pemimpin bangsa yang mumpuni dan peduli rakyat kecil sebenarnya sangat besar. Namun sayang, energi berlimpah yang dimiliki para guru itu setiap tahun hanya dihabiskan untuk membahas serta menghadapi ujian nasional (UN).
Dr Agus Salim menuturkan, agar PAK bisa diterima seluruh peserta didik, maka semua pihak perlu belajar dari kesalahan pengajaran P4 (Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang tumbuh marak di era Orde Baru. Sebagai misal, kegiatan keseharian yang mudah ditemui di lingkungan sekolah bisa dijadikan model pembelajaran kejujuran. Masuk sekolah tepat waktu sesuai peraturan juga merupakan contoh kegiatan antikorupsi. Jangan seperti model P4 dulu, semua pihak harus mengikuti petunjuk 36 butir P4. Yang berada di luar jalur itu berarti musuh pemerintah.
Dijelaskan, PAK juga mampu mengubah paradigma para guru. Sebagian besar guru di Tanah Air dewasa ini memiliki dua paradigma, yaitu paradigma mencari hidup serta paradigma juklak/juknis. Kedua paradigma tersebut membuat kegiatan guru di sekolah hanya rutinitas belaka sehingga guru sama sekali tidak kreatif.
Terkungkung
Selama ini guru mengajar peserta didik sering tidak dilandasi sentuhan humanis. Kebanyakan guru hanya menghabiskan materi kurikulum nasional. Pelaksanaan UN semakin membuat guru terkungkung dalam sistem kaku yang dibangun pemerintah sendiri. Guru menjadi kurang peka terhadap isu-isu sosial, termasuk masalah korupsi. Akibatnya, secara perlahan-lahan guru turut menjadi bagian penting penyakit sosial bernama korupsi.
Celakanya, potensi guru yang hebat tersebut belakangan justru sering dimanfaatkan elite politik menjelang pelaksanaan pilkada atau pilpres. Para elite politik itu sadar betapa peran guru sangat strategis lantaran memiliki hak suara relatif besar.
Selain itu, guru juga dapat dimanfaatkan untuk memengaruhi siswa, orangtua siswa, rekan-rekan, dan tetangga. Andai saja Depdiknas mempunyai pandangan sama dengan elite politik, semestinya guru bisa dimanfaatkan ikut terlibat dalam menghadapi tantangan bangsa. Pembelajaran kejujuran keseharian sebagai inti PAK tidak memberi tambahan pekerjaan bagi guru.
Pendapat serupa dikemukakan Basuki Sugita. Menurut dia, hasil karya PAK memang tidak dapat dilihat dalam tempo satu-dua tahun ke depan. Keberhasilan PAK baru terlihat sekitar 15 tahun mendatang. (Pudyo Saptono)

Tidak ada komentar: