Selasa, 29 Juli 2008

PAK

Pendidikan Antikorupsi (Sumbangsih Guru untuk Nusa dan Bangsa)
By icwweb
Senin, Mei 09, 2005 10:04:05
89 Clicks and 0 Comments

Ternyata rekan penulis tadi diadili gara-gara berita Kurikulum Pendidikan Antikorupsi yang dimuat di harian Suara Merdeka (28/3) dan Kompas edisi Jateng (29/3). Pada berita itu disebutkan, mulai tahun ajaran 2005/2006 mendatang, SMP tempat penulis mengajar akan mengajarkan pendidikan antikorupsi kepada semua siswanya, mulai kelas I hingga kelas III. Pendidikan antikorupsi itu sendiri murni ide penulis setelah membaca resensi buku Teaching Integrity to Youth: Examples from 10 Countries terbitan Transparancy International.Pada bagian penutup resensi buku tadi menanyakan keberanian para guru di Indonesia menyikapi persoalan korupsi yang sudah amat parah menimpa negeri ini. Dicontohkan, Kamboja yang baru pulih dari perang selama puluhan tahun berani memasukkan ide antikorupsi ke dalam kurikulum sekolah.Memang, setelah berita tentang pendidikan antikorupsi itu mencuat ke permukaan, muncul banyak pertanyaan dari kalangan masyarakat dan pelaku pendidikan di daerah penulis mengajar. Apa itu pendidikan antikorupsi? Apakah pendidikan antikorupsi mampu memberantas korupsi di Tanah Air? Apa beda pendidikan antikorupsi dengan pendidikan budi pekerti yang sudah lama absen dari kurikulum nasional? Bagaimana kurikulum pendidikan antikorupsi itu sendiri?Kegamangan masyarakat luas, khususnya dunia pendidikan kita, tentang persoalan korupsi tidak terbantahkan. Pendidikan nasional kita memang sudah berlumur kubangan korupsi. Lantas, apa sumbangsih dunia pendidikan kita ikut membantu memberantas korupsi? Kalau pelaku pendidikan di Tanah Air punya nyali, pendidikan antikorupsi adalah jawabannya! Pendidikan antikorupsi bertujuan menanamkan kejujuran, kepedulian, rasa malu, kerja sama sosial, serta meningkatkan tenggang rasa kepada peserta didik.Diharapkan setelah mempelajari pendidikan antikorupsi para peserta didik sadar bahwa ketidakjujuran, ketidakpedulian, tidak punya rasa malu, antisosial, serta tidak punya rasa tenggang rasa akan merugikan kepentingan bersama. Dalam arti luas merugikan kepentingan berbangsa dan bernegara. Mengapa diberi nama pendidikan antikorupsi, bukan pendidikan budi pekerti, hanya masalah selera saja.Dari pengalaman penulis saat berita tersebut muncul di koran kemudian dikliping dan ditempelkan di papan tulis setiap kelas, para peserta didik lantas tertarik. Mereka sangat antusias membaca karena ada kata antikorupsinya. Artinya, pemilihan nama mata pelajarannya disesuaikan dengan kondisi terkini di Tanah Air dan relatif mudah diketahui dan diserap peserta didik.Harus disadari, penyakit korupsi yang menimpa bangsa ini tidak datang begitu saja. Praktik korupsi tentu bermula dari ketidakjujuran yang makin lama makin menumpuk. Oleh karena itu, pada pendidikan antikorupsi peran kejujuran sangat besar. Kejujuran harus dibina sejak kecil dan terarah.DALAM rancangan silabus pendidikan antikorupsi yang sudah disusun, materi pendidikan antikorupsi diberikan satu jam pelajaran (45 menit) per dua minggu sekali, sebagai pengganti kegiatan upacara yang selama ini rutin diadakan setiap Senin. Upacara bendera yang bertujuan meningkatkan kesetiaan kepada negara diakui atau tidak sudah kehilangan banyak makna. Kebanyakan materi upacara bendera berisi pengumuman atau ceramah pembina upacara yang membosankan dan terasa kering. Rutinitas yang berlangsung sejak duduk di bangku SD sampai SMA perlu disegarkan lagi.Supaya pendidikan antikorupsi dapat lebih mudah dimengerti, diharapkan peran serta masyarakat luas perlu dilibatkan. Misalnya, dua bulan sekali pengelola sekolah mengajak unsur pejabat negara, kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers, atau pihak-pihak terkait dengan hukum ketatanegaraan memberikan ceramah umum. Dari ceramah ini nanti mata hati peserta didik akan lebih terbuka menghadapi masalah-masalah korupsi.Pada intinya, silabus pendidikan antikorupsi yang tengah disusun mencakup tiga hal: pemberian materi, metode, serta indikator yang ingin dicapai. Pemberian materi pendidikan antikorupsi jangan melulu bicara detail-detail hukum. Namun, pertama-tama dititikberatkan pada korupsi yang mungkin dilakukan peserta didik atau pengelola sekolah. Misalkan korupsi waktu. Peserta didik datang terlambat masuk sekolah juga termasuk bibit korupsi.Begitu juga mencontek waktu ulangan karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran. Contoh-contoh pelanggaran jika memungkinkan selalu berkaitan dengan masalah aktual.Misalkan materi tentang tenggang rasa. Contoh seperti membantu anak cacat menyeberang jalan di saat lalu lintas ramai kurang begitu menarik. Akan lebih menarik dicontohkan seperti rombongan moge (motor gede) leluasa masuk jalan tol tanpa bisa diperingatkan polisi. Kenapa bisa demikian? Karena rombongan moge itu biasanya orang terpandang di republik ini. Bisa juga diberi contoh waktu rombongan Wapres Hamzah Haz (waktu itu-Pen) seenaknya saja masuk jalur busway. Biarkan peserta didik mendefinisikan arti korupsi menurut alam pikir mereka sendiri. Guru sebagai fasilitator hanya bertindak menggiring peserta didik ke pola yang dibakukan dalam pendidikan antikorupsi. Pada intinya, pendidikan antikorupsi tidak memasung kreativitas berpikir peserta didikIndikator pendidikan antikorupsi perlu diberi semacam praktik untuk mengetahui sejauh mana peserta didik mampu menyerap materi yang diberikan guru. Misalnya, untuk mengetahui tingkat kejujuran peserta didik pihak pengelola sekolah bisa membuka semacam toko kejujuran. Pada toko kejujuran barang yang dijual hanya diberi label harga saja dan tidak perlu ditunggui. Jadi, pembeli tinggal mencomot barang dagangan dan membayar sesuai harganya. Minta kembalian ambil sendiri dari kotak yang tersedia.Di sinilah kualitas kejujuran peserta didik ditempa dan dibina. Peningkatan aspek kerja sama sosial bisa memakai sistem bantingan yang penulis peroleh selama duduk di bangku SMA di Yogyakarta, awal tahun 1980-an. Misalnya, peserta didik akan iuran membayar uang fotokopi. Tentukan saja nilai iuran per anak seperti biasa, katakanlah Rp 1.000. Nah, pada sistem bantingan peserta didik membayar sesuai kemampuan mereka sendiri. Jadi ada yang membayar pas, lebih, atau tidak membayar karena memang kemampuan ekonomi orangtuanya lemah. Dari pengalaman penulis selama di SMA dulu, urusan duit selalu beres pakai sistem bantingan, malah acap kali ada kelebihan uang sedikit.PENDIDIKAN antikorupsi memang tidak bisa membereskan semua permasalahan korupsi di negeri ini. Apakah pendidikan antikorupsi nanti berhasil atau tidak, baru kelihatan dampaknya sekitar 10-15 tahun mendatang. Namun, dengan kesungguhan para guru membina peserta didik, paling tidak bibit korupsi bisa ditekan seminimal mungkin.Tanpa peran serta seluruh lapisan masyarakat, sulit memberantas korupsi yang sudah amat akut menimpa bangsa ini. Tinggal bagaimana kita (baca: guru) menyikapi persoalan pelik ini. Apakah kita akan diam berpangku tangan saja? Atau, apakah kita ambil peran serta ikut membina generasi muda yang lebih baik ?Tidak kalah pentingnya adalah sikap pejabat tinggi di jajaran Depdiknas, mengapa di saat negeri kita begitu terpuruk karena korupsi belum ada kurikulum untuk menjawab semua persoalan di atas. Akan tetapi, sebelum konsep pendidikan antikorupsi diberikan kepada peserta didik, ada baiknya jangan terdengar lagi kabar korupsi di lingkungan pendidikan kitaHarus diakui, konsep pendidikan antikorupsi yang dimiliki penulis belum matang. Namun, penulis tetap bertekad akan maju terus mengajarkan pendidikan antikorupsi. Penulis selalu berkeyakinan, manusia hidup harus berarti dan memberi makna. Bagi semua pihak yang ingin ikut sumbang saran terkait soal pendidikan antikorupsi, silakan saja kirim email ke mossad63@yahoo.com.(
M Basuki Sugita, pengajar matematika di SMP Keluarga, Kudus, Jawa Tengah)
Tulisan diambil dari Kompas, 9 Mei 2005

Tidak ada komentar: