Selasa, 29 Juli 2008

Jalan Terjal Mendidik Anak Jujur

Proses PendidikanAnak Jujur
Dua siswa laki-laki berseragam kotak-kotak tampak sibuk memilih alat keperluan sekolah yang diletakkan di dalam kotak kaca. Seorang siswa membeli tiga buah buku tulis, sedangkan siswa yang lain membeli buku gambar. Proses pembayaran dilakukan mandiri karena warung tersebut tidak ada penjaganya.
Mulai membayar sampai mengambil uang kembalian, semua dilakukan sendiri. Mereka yang membayar tunai, menulis di kolom tunai. Belum mempunyai uang, tidak perlu khawatir. Cukup menulis di lembaran ngebon dan bisa dilunasi di kemudian hari.
Apa yang dilakukan siswa kelas VII SMP Keluarga (SMPK) di Kudus, Jawa Tengah, itu bukan penggalan adegan drama. Mereka sedang berlatih kejujuran sebagai bagian Pendidikan Antikorupsi (PAK) yang sudah diajarkan di SMPK Kudus sejak Desember 2005.
Praktik PAK keseharian tampak jelas dan nyata di warung kejujuran dan juga telepon kejujuran. Apakah nilai-nilai kejujuran bisa ditanamkan sejak usia dini? Apakah mental korupsi bisa dikikis melalui tindak tanduk kejujuran?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), "jujur" artinya lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Adapun kejujuran diartikan sifat keadaan jujur, ketulusan hati, dan kelurusan hati.
Semua agama tentu mengajarkan umatnya untuk selalu bertindak jujur. Meski dikenal sebagai bangsa religius, kenapa Indonesia tercatat sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia?
Menurut analisa pastoral 03-06 Keuskupan Agung Semarang, bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi empat masalah besar, yakni korupsi, aksi kekerasan, perusakan lingkungan hidup, serta kerusakan peradaban publik. Maka sekolah-sekolah di bawah lingkup Keuskupan Agung Semarang diwajibkan mendidik anak dalam keseharian untuk selalu bisa menjawab empat tantangan bangsa tersebut.
Butuh tanggung jawabWarung kejujuran seperti model SMPK Kudus adalah menjual barang kebutuhan sehari-hari siswa, seperti buku, alat tulis, penggaris, tip-ex, dan kertas folio, tanpa ada petugas jaga. Seluruh proses pengambilan barang, membayar sampai menghitung uang kembalian, dilakukan mandiri. Proses ini membutuhkan tanggung jawab besar pada diri anak didik.
Berarti anak didik diberi dua kesempatan selama belanja di warung kejujuran. Pertama, mereka boleh saja mengambil sesuka hati tanpa membayar sepeser pun. Atau kedua, anak didik belanja secara jujur tanpa merugikan pihak mana pun.
Konsep ini, kalau dijalankan secara rutin, akan melatih anak selalu berlaku jujur. Diharapkan proses kejujuran tidak hanya berlaku selama belanja di warung sekolah, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk lebih meningkatkan intensitas kejujuran, anak diberi pengertian sisa uang yang tidak diambil akan disumbangkan untuk kegiatan sosial, semisal membantu rekan mereka yang kurang mampu. Peran guru sangat besar dalam memberi pengertian dan tata cara belanja sebelum warung kejujuran digulirkan.
Dari pengalaman kegiatan warung kejujuran selama ini ada tiga tahap proses kejujuran. Pertama, selama minggu-minggu pertama, anak didik bersikap jujur sesuai harapan. Kedua, menginjak bulan kedua dan ketiga, ketidakjujuran sejumlah anak mulai muncul. Sejumlah barang yang dijual raib tanpa ada uang masuk. Dan tahap ketiga, proses yang sulit dan melelahkan adalah mengajak anak kembali kepada ketentuan yang berlaku.
Untuk mengetahui proses ketidakjujuran cukup mudah. Pada hari-hari tertentu dilakukan pendataan berapa banyak barang yang dibeli anak didik. Nilai nominal barang dicocokkan dengan jumlah uang kontan dan lembaran ngebon. Kalau cocok—apalagi ada sisa—berarti anak-anak telah melakukan tindakan kejujuran. Karena siswa tanpa diawasi siapa pun—kecuali Tuhan tentu saja—melakukan prosedur resmi dan baku. Hal ini sesuai harapan inti pembelajaran PAK, yakni mengedepankan kejujuran.
Seperti diuraikan di atas, tantangan tetap saja ada. Setelah dihitung ternyata tidak ada kesesuaian antara nilai barang keluar dan jumlah pemasukan. Ada dua kemungkinan di sini, yakni siswa mengambil barang tanpa membayar atau ada anak mengambil uang di kotak simpanan.
Inilah seni pembelajaran PAK bagaimana cara "menundukkan" anak didik supaya mereka selalu mengedepankan kejujuran.
Di sini dituntut keterbukaan antara pengelola sekolah dan anak didik. Apakah warung kejujuran untung atau rugi selalu diumumkan kepada para siswa. Kemudian anak diajak merefleksikan apa yang akan terjadi kalau warung kejujuran untung atau rugi.
Tentu anak didik akan menangkap makna bahwa warung kejujuran cepat bangkrut kalau mengambil barang tanpa membayar atau uang di laci raib diambil orang. Dari jawaban tersebut, kemudian permasalahan digiring kepada lingkup yang lebih luas, yakni negara kita.
Biarkan anak didik merenungkan dan menyadari bahwa keterpurukan negara kita akibat ketidakjujuran. Penyelenggara sering tidak jujur dalam melaksanakan kewajiban. Sering kali penyelenggara mengambil hak orang lain demi kepentingan sendiri.
Seperti proses kebangkrutan warung kejujuran. Dan bukan mustahil suatu negara bangkrut kalau harta kekayaan negara yang seharusnya milik rakyat diambil sekelompok orang.
Tahu bahaya korupsiDari model pembelajaran seperti ini, anak didik akan lebih jelas dan tahu arti korupsi sebenarnya daripada para guru mengajarkan konsep korupsi serta pasal-pasal hukum yang membuat dahi berkerut.
Proses pendidikan sederhana dan efisien jauh lebih tepat dibandingkan dogma-dogma pemerintah yang sering jauh di atas awang-awang.
Begitu juga pelaksanaan telepon kejujuran. Selain mengajarkan kejujuran, juga sebagai solusi penyalahgunaan telepon genggam di kalangan siswa.
Sekolah cukup menyediakan prasarana dua telepon genggam jenis GSM dan CDMA dilengkapi kartu perdana yang berfungsi sebagai telepon umum. Tarif bisa ditentukan sendiri tergantung kondisi sekolah.
Setelah telepon kejujuran berjalan, anak didik dilarang keras membawa telepon genggam ke sekolah dengan sederet sanksi yang telah disetujui bersama.
Akan jauh lebih bermakna luas apabila gerakan kejujuran dilakukan serempak dari tingkat pendidikan bawah sampai atas.
Tentu sulit mengharapkan Depdiknas mau memelopori gerakan moral di atas. Karena gerakan kejujuran bukan sebuah proyek bergelimpangan uang. Beda jauh dengan pelaksanaan ujian nasional.
Mari kita tempatkan kejujuran sebagai hal utama dan pertama dalam kehidupan sehari-hari. Siapa mau gabung?
M Basuki Sugita Penggagas Pendidikan Antikorupsi (PAK) Tingkat Menengah; Tinggal di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah
Kompas, Senin - 24 Desember 2007

Tidak ada komentar: