Selasa, 29 Juli 2008

Komen gue ttg KTSP

Mutu Manusia di Balik Kurikulum

by : Fransiskus Saverius Herdiman

Tanpa semangat perubahan, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan bak macan ompong
Sejak masa pemerintahan Orde Baru, Departemen Pendidikan telah beberapa kali mengganti kurikulum. Kita misalnya pernah mengenal kurikulum 1975. Kurikulum ini kemudian diganti dengan Kurikulum 1984. Kemudian kurikulum 1994 yang kemudian diganti lagi dengan kurikulum 2004 atau yang disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun, riwayat KBK ini tak panjang karena harus diganti dengan kurikulum baru. Sejak tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006.
Para pelaku pendidikan termasuk para guru dan murid, adalah stakeholder yang paling merasakan dampak dari pergantian kurikulum tersebut. Selain harus memahami isi sebuah kurikulum, mereka juga harus bisa menyesuaikan diri dengan kurikulum baru. Ironisnya, umur sebuah kurikulum tidak berjalan panjang. Ada kesan, setiap pergantian kabinet, selalu ada pergantian kebijakan, termasuk kurikulum.
Pertanyaannya, apakah penerapan sebuah kurikum tidak melalui uji coba ilmiah yang ketat sehingga kemudian -setelah diterapkan - begitu mudah rancu dan harus diganti? Apa yang melatarbelakangi pergantian sebuah kurikulum? Selain itu, pernahkah penerapan sebuah kurikulum dievaluasi? Kenyataannya, sebelum sebuah kurikulum berhasil diterapkan, Depdiknas malah sudah menggantinya dengan kurikulum baru.
Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Bedjo Sujanto mengatakan, pergantian kurikulum yang dilakukan selama ini -termasuk KTSP - tidak melalui studi yang cermat. "Saya melihat dan merasakan bahwa pergantian kurikulum ini tidak melalui studi yang cermat, dan tidak melalui sosialisasi yang memadai," ujarnya.
Bedjo menyatakan, problem utama pendidikan di Indonesia bukan pada kurikulum, tapi pada orang di balik kurikulum tersebut. Hal ini, katanya, terbukti dari pergantian kurikulum yang tidak membawa perbaikan pada mutu pendidikan secara signifikan. "Kalau dugaan ini benar, artinya bukan kurikulumnya yang harus dibongkar pasang, tetapi manusianya yang harus lebih cerdas memaknai kurikulum," katanya.
Pertanyaan klasiknya, dapatkah KTSP meningkatkan mutu pengajaran di sekolah-sekolah kita?
Perubahan Mental Birokrat
Untuk melaksananan KTSP, Departemen Pendidikan Nasional menerapkan kerangka dasar yang terdiri dari Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan. Sedangkan pengembangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian menjadi kewenangan satuan pendidikan (sekolah) di bawah koordinasi dan supervisi pemerintah kabupaten/kota.
Jiwa atau semangat dari KTSP adalah memberi keleluasaan penuh setiap sekolah untuk mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar. Dengan keleluasaan tersebut, sekolah dapat memasukkan muatan lokal yang sesuai dengan situasi dan kondisi di daerahnya. Karena itu, KTSP membuka peluang bagi kreativitas sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulumnya sendiri.
Persoalannya, kata Bedjo, KTSP hanya cocok dilakukan di negara yang memiliki guru dengan kemampauan rata-rata tinggi, kreatif dan telah benar-benar menjalankan otonomi. Selain itu, KTSP hanya cocok diterapkan di sebuah lingkungan yang telah memiliki etos belajar yang tinggi. Sedangkan untuk konteks Indonesia, prasyarat tersebut, katanya, belum terpenuhi.
Menurut Direktur Institut for Education Reform Universitas Paramadina, Utomo Dananjaya, KTSP justru tidak memberikan keleluasaan dan membangkitkan kreativitas para guru. Menurutnya, standar isi, standar kompetensi dan standar kelulusan yang disusun Badan Nasional Sertifikasi Pendidikan (BNSP) malah merampas kemerdekaan guru.
"Coba bayangkan, apa yang dilakukan guru di sekolah setelah dia diberikan standar. Gak mungkin dia melakukan sesuatu yang lain, karena hak guru itu sudah dirampas oleh BNSP. Kemudian dia bilang kamu susun KTSP. Bagaimana itu. Sementara guru itu bukan orang pandai, cerdas," ujarnya.
Selain kultur dan etos kerja para guru yang belum mendukung, salah satu persoalan dalam penerapan KTSP, menurut Bedjo, adalah minimnya sosialisasi kurikulum kepada para guru. Dia mencatat, dalam setiap pergantian kurikulum, justru sosialisasi itu sangat kurang dilakukan. Bahkan, ketika sebuah kurikulum baru muncul, yang terjadi adalah kegitan sekolah menjadi stagnan. Andaikan ada sosialisasi, maka sosialisasi itu, katanya, hanya menjangkau sekolah yang dekat dengan pusat kekuasaan. Padahal, sebagian besar sekolah kita berada jauh dari pusat pemerintahan tersebut.
"Buruknya pemahaman terhadap perubahan kurikulum baru (KTSP), bisa jadi terulang kembali dan menjadi penyebab tidak suksesnya pelaksanaan KTSP," ujarnya.
Karena itu, untuk keberhasilan KTSP, Bedjo menyarankan pemerintah melakukan sosialisasi yang gencar. Selain itu, membangkitkan kreativitas guru untuk mengelaborasikan standar yang ditetapkan BNSP. Yang tak kalah penting adalah mengubah mental birokrat pusat hingga daerah di jajaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
M. Basuki Sugita, seorang guru di Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah mengatakan, perubahan mental birokrat pusat dan daerah itu sangat penting karena birokrat dari Dinas Pendidikan mempunyai kedudukan strategis dan sinergi yakni sebagai penghubung kepentingan pemerintah dan sekolah. Karena itu, maju mundurnya sebuah sekolah dan pendidikan suatu daerah katanya, juga tergantung pada seberapa jauh kinerja kantor dinas di kabupaten dan kota.
"Bukan rahasia lagi kinerja kantor yang satu ini masih jauh panggang dari api," ujarnya.
Karena itu, Basuki mengingatkan, tanpa perubahan mental birokrat, KTSP tidak akan berjalan maksimal. "Tanpa semangat perubahan, makna KTSP bak macan ompong," ujarnya.

1 komentar:

Josh mengatakan...

setuju bosss,...