Selasa, 29 Juli 2008

Kudus (Bekas) Kota Kretek

Suara Merdeka 8 Maret 2007
Kudus (Bekas) Kota Kretek
Oleh M Basuki Sugita
ANDA pernah menengok Museum Kretek Kudus yang terletak di Desa Getas Pejaten, Kecamatan Jati, Kudus? Di tempat bersejarah itu secara menarik disajikan diaroma cikal bakal industri rokok kretek; mulai seabad silam, zaman Nitisemito, sampai era digital sekarang ini.
Keberadaan museum itu menjadi kebanggaan masyarakat setempat. Betapa tidak? Di seluruh dunia, museum rokok kretek hanya ada satu, dan itu berada di Kudus.
Harus diakui, induksi rokok kretek mengangkat derajat ekonomi Kabupaten Kudus. Diperkirakan sekitar 40 persen dari total 700.000 jiwa warga Kudus sehari-hari menggantungkan hidup dari aroma cengkeh rokok kretek.
Namun citra Kudus sebagai Kota Kretek, bisa jadi segera berakhir. Industri rokok kretek yang sempat berkibar, sepuluh tahun terakhir ini mulai meredup. Beragam problem, dari langkah pemerintah menaikkan harga jual eceran (HJE) dan pungutan cukai spesifik, sampai kebijakan WHO (organisasi kesehatan dunia) untuk menyehatkan dunia tanpa tembakau, mau tidak mau membuat pabrik rokok kretek Kudus tergencet.
Belum lagi produksi rokok putihan (tanpa cukai) terus menggerogoti keuntungan perusahaan. Kebijakan Putra Sampoerna menjual perusahaan rokok warisan keluarga HM Sampoerna ke tangan asing pabrik rokok raksasa negeri Paman Sam, Phillips Morris, bukan tanpa perhitungan matang. Dari usaha menjual perusahaan rokok Dji Sam Soe, Putra Sampoerna meraup dana tidak sedikit untuk merambah bisnis internasional.
Bahkan diam-diam juragan rokok kretek Kudus, keluarga Djarum banting stir, mulai melirik bisnis di luar tembakau. Tidak tanggung-tanggung keluarga Djarum lewat perusahaan Alaerka Invesment kini menguasai 46 persen saham Bank Central Asia (BCA). Sebagai pemegang saham mayoritas, Grup Djarum bisa berbuat apa saja di BCA. Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan usaha Djarum lebih fokus ke perbankan dibandingkan dengan rokok kretek.
Intinya, bisnis rokok sekarang tidak punya masa depan cerah. Tidak heran, juragan rokok ramai-ramai mulai melirik bisnis di luar tembakau. Apakah masa suram industri rokok kretek akan berkelanjutan? Ataukah itu sebagai bagian strategi bisnis jangka panjang belaka? Bisa apa Kudus tanpa industri rokok kretek?
Sederet pertanyaan itu tentu butuh jawaban tegas dan pasti dari pengambil kebijakan daerah.
Guncang dan Goyah
Tanda-tanda suram pabrik rokok kretek tentu harus dibaca bijaksana oleh pimpinan Kabupaten Kudus. Tanpa perencanaan matang usaha mikro dan makro ekonomi beberapa tahun ke depan, napas kehidupan masyarakat Kudus bisa dipastikan guncang.
Sebagai industri padat karya, bisnis rokok kretek goyah, lapisan masyarakat papan bawah seperti buruh borong, bathil (mayoritas buruh pabrik rokok kretek) yang pertama terkena dampaknya.
Produksi rokok secara nasional memang terus merosot. Per Oktober 2006 terjual secara nasional 182,486 miliar batang, atau merosot 3,7 persen dibandingkan dengan periode setahun sebelumnya Oktober 2005 yang mencapai 189,406 miliar batang. Pada periode itu produksi Djarum merosot satu persen menjadi 18 persen.
Sementara itu pabrik Nojorono meningkat satu persen menjadi empat persen. Sekarang ini, pabrik lebih suka bermain di pangsa rokok putih (mild) dibandingkan dengan rokok SKT (sigaret kretek tangan). Namun rokok mild tergolong SKM (sigaret kretek mesin) yang tidak banyak menyerap tenaga kerja.
Persoalan jadi tambah pelik, karena pemerintah per 1 Maret 2007 menaikkan HJE sebanyak tujuh persen. Empat bulan kemudian, tepatnya per Juli 2007, pabrik rokok akan mendapat "hadiah" lagi berupa pungutan cukai spesifik. Dari perhitungan bisnis, kenaikan HJE dan pungutan cukai spesifik tentu tidak ditanggung pengusaha.
Semua beban kenaikan harga dipastikan ditanggung konsumen. Berarti, konsumen akan merogoh kantong lebih dalam untuk bisa menikmati rokok kesayangannya.
Pertanyaannya, sampai batas harga berapa konsumen rela memenuhi harga pasar di tengah kondisi iklim ekonomi nasional yang belum membaik ? Di tengah harga rokok terus meroket dan isi kantong semakin cupet saja, tinggal ada dua pilihan bagi penikmat rokok. Berhenti merokok atau banting stir beli rokok murahan?
Kedua pilihan yang mungkin diambil konsumen bukan isyarat baik bagi pabrik. Berhenti merokok merupakan lonceng kematian industri rokok, sementara itu menghisap udut murah berarti membeli hasil pabrik kelas kecil atau pabrik rokok ilegal tanpa pita cukai.
Jika pilihan terakhir menjadi jawaban konsumen rokok, bukan kabar menggembirakan bagi pabrik besar dan juga pemerintah. Karena rokok putih yang sekarang ini menjamur tak terkendali tanpa penanganan serius aparat hukum, tidak memberi pemasukan cukai.
Boleh jadi, sepuluh tahun ke depan industri rokok kretek tinggal kenangan. Tempat yang tepat untuk mengenang kejayaan rokok kretek adalah Museum Kretek Kudus, di Getas Pejaten.(68)
--- M Basuki Sugita, Wiraswasta di Desa Kaliputu, Kudus.

Tidak ada komentar: