Selasa, 29 Juli 2008

Warung kejujuran

Suara Merdeka Nasional
Jumat, 09 Februari 2007
Pendidikan Antikorupsi Belajar dan Praktik Senyatanya
SEORANG murid berseragam putih-biru tampak mengambil wafer dari wadahnya. Setelah itu dia meletakkan uang kertas senilai Rp 1.000 di kardus yang digunakan untuk menyimpan uang. Tidak hanya meletakkan, dia juga terlihat mengambil kepingan logam uang senilai Rp 300 dari kotak itu. Lantas murid itupun berlenggang meninggalkan tempat sambil menikmati wafer. Begitulah kurang lebih aktivitas yang terlihat di Toko Kejujuran. Sebuah toko yang bisa dibilang mempunyai konsep "postswalayan". Di situ setiap murid tidak hanya bisa memilih sendiri barang yang ingin dia beli seperti di swalayan, tetapi mereka juga sekaligus melakukan transaksi sendiri. "Cara membayar barang yang dibeli cukup dengan meletakkan uang di kotak uang. Kalau memang masih ada sisa, mereka dipersilakan untuk mengambil sendiri kembaliannya," jelas Kepala SMP Keluarga M Basuki Sugitha. Ya, Toko Kejujuran memang hanya ada di SMP yang terletak di Desa Kaliputu Kecamatan Kota Kudus itu. Toko tersebut merupakan praktik dari pendidikan antikorupsi yang telah diterapkan sekolah tersebut sejak 19 Desember 2005. Melalui toko itu, para siswa diharapkan bisa belajar untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Dalam keseharian di kelas, mata pelajaran antikorupsi diajarkan setiap hari Kamis. "Satu jam terakhir hari itu, setiap kelas diisi dengan mata pelajaran antikorupsi yang diajarkan oleh wali kelas masing-masing," ujar Basuki. Namun, Basuki juga mempunyai jurus ampuh agar para siswa tidak bosan. Selain menggunakan buku antikorupsi yang menarik dan interaktif, SMP Keluarga sesekali mengundang tokoh-tokoh untuk berbicara di depan para siswa. Beberapa orang yang sudah pernah menjadi guru antikorupsi yakni Bupati Kudus Ir HM Tamzil MT serta Direktur Pelayanan Pendidikan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Eko S Tjiptadi.(Adhitia Armitrianto-41)

Gue tentang PLTN di Sinar Harapan

Sekolah Jangan Dilibatkan Polemik PLTN

Sinar Harapan 29 Juli 2008
Kudus-Kementerian Negara Riset dan Teknologi dinilai tidak etis melibatkan satuan pendidikan (sekolah) di wilayah Kabupaten Kudus, Jepara dan Pati, Jawa Tengah, dalam polemik rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Pembagian buku suplemen berjudul PLTN Manfaat dan Potensi Bahayanya kepada satuan pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di wilayah tersebut hanya akan mengganggu proses belajar mengajar belaka. Pasalnya isi buku itu tidak seimbang dan hanya mempromosikan PLTN saja, diungkap tokoh pendidikan Kudus Drs M Basuki Sugita kepada SH, Selasa (8/4). “Sebagai pusat ilmu buku tersebut cukup bagus. Hanya sayang informasi yang diberikan hanya sepihak. Jelas isi buku mengajak para guru dan siswa mendukung PLTN,” ujarnya. Akhir Maret lalu melalui Kantor Dinas Pendidikan diedarkan buku gratis berjudul PLTN Manfaat dan Potensi Bahayanya. Buku mewah berwarna setebal 25 halaman tersebut, menurut Deputi Menteri Negara Riset dan Teknologi Bidang Dinamika Masyarakat Prof Dr Carunia Mulya Firdausy, untuk memberikan pengenalan tentang PLTN sebagai salah satu sumber energi.Basuki, pencipta mata pelajaran Pendidikan Antikorupsi ini, berpendapat akan jauh lebih berguna jika Kementerian Negara Riset dan Teknologi memberikan buku gratis seputar energi alternatif, seperti energi surya, angin dan matahari. Buku energi alternatif justru tepat dan berdaya guna untuk merangsang minat belajar para siswa.Misalkan saja dibuat contoh rangkaian sederhana energi angin yang bisa dipraktikkan guru dan siswa. Jika gerakan energi alternatif dimasalkan tentu bisa memberikan dampak signifikan pengurangan kebutuhan bahan bakar minyak. “Langkah-langkah seperti ini yang justru dibutuhkan sekolah, guru dan siswa. Berikan mereka kail biar merangsang minat dan bakat di tingkat bawah,” ujar Basuki.Buku gratis terbitan pemerintah hanya memberikan gambaran positif PLTN. Tidak ada hal negatif tertuang pada buku itu. “Kebocoran PLTN di Chernobyl, Ukraina, sedikit pun tidak disinggung, padahal dampak yang ditimbulkan luar biasa dan masih terasa sampai sekarang,” ujar guru matematika SMP Keluarga di Kudus ini.Ia menambahkan agar buku itu tidak mengundang pro dan kontra dilingkup satuan pendidikan, sebaiknya segera diterbitkan buku baru yang lebih terinci mengupas PLTN. (SU Herdjoko)

Komen gue ttg KTSP

Mutu Manusia di Balik Kurikulum

by : Fransiskus Saverius Herdiman

Tanpa semangat perubahan, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan bak macan ompong
Sejak masa pemerintahan Orde Baru, Departemen Pendidikan telah beberapa kali mengganti kurikulum. Kita misalnya pernah mengenal kurikulum 1975. Kurikulum ini kemudian diganti dengan Kurikulum 1984. Kemudian kurikulum 1994 yang kemudian diganti lagi dengan kurikulum 2004 atau yang disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun, riwayat KBK ini tak panjang karena harus diganti dengan kurikulum baru. Sejak tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006.
Para pelaku pendidikan termasuk para guru dan murid, adalah stakeholder yang paling merasakan dampak dari pergantian kurikulum tersebut. Selain harus memahami isi sebuah kurikulum, mereka juga harus bisa menyesuaikan diri dengan kurikulum baru. Ironisnya, umur sebuah kurikulum tidak berjalan panjang. Ada kesan, setiap pergantian kabinet, selalu ada pergantian kebijakan, termasuk kurikulum.
Pertanyaannya, apakah penerapan sebuah kurikum tidak melalui uji coba ilmiah yang ketat sehingga kemudian -setelah diterapkan - begitu mudah rancu dan harus diganti? Apa yang melatarbelakangi pergantian sebuah kurikulum? Selain itu, pernahkah penerapan sebuah kurikulum dievaluasi? Kenyataannya, sebelum sebuah kurikulum berhasil diterapkan, Depdiknas malah sudah menggantinya dengan kurikulum baru.
Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Bedjo Sujanto mengatakan, pergantian kurikulum yang dilakukan selama ini -termasuk KTSP - tidak melalui studi yang cermat. "Saya melihat dan merasakan bahwa pergantian kurikulum ini tidak melalui studi yang cermat, dan tidak melalui sosialisasi yang memadai," ujarnya.
Bedjo menyatakan, problem utama pendidikan di Indonesia bukan pada kurikulum, tapi pada orang di balik kurikulum tersebut. Hal ini, katanya, terbukti dari pergantian kurikulum yang tidak membawa perbaikan pada mutu pendidikan secara signifikan. "Kalau dugaan ini benar, artinya bukan kurikulumnya yang harus dibongkar pasang, tetapi manusianya yang harus lebih cerdas memaknai kurikulum," katanya.
Pertanyaan klasiknya, dapatkah KTSP meningkatkan mutu pengajaran di sekolah-sekolah kita?
Perubahan Mental Birokrat
Untuk melaksananan KTSP, Departemen Pendidikan Nasional menerapkan kerangka dasar yang terdiri dari Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan. Sedangkan pengembangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian menjadi kewenangan satuan pendidikan (sekolah) di bawah koordinasi dan supervisi pemerintah kabupaten/kota.
Jiwa atau semangat dari KTSP adalah memberi keleluasaan penuh setiap sekolah untuk mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar. Dengan keleluasaan tersebut, sekolah dapat memasukkan muatan lokal yang sesuai dengan situasi dan kondisi di daerahnya. Karena itu, KTSP membuka peluang bagi kreativitas sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulumnya sendiri.
Persoalannya, kata Bedjo, KTSP hanya cocok dilakukan di negara yang memiliki guru dengan kemampauan rata-rata tinggi, kreatif dan telah benar-benar menjalankan otonomi. Selain itu, KTSP hanya cocok diterapkan di sebuah lingkungan yang telah memiliki etos belajar yang tinggi. Sedangkan untuk konteks Indonesia, prasyarat tersebut, katanya, belum terpenuhi.
Menurut Direktur Institut for Education Reform Universitas Paramadina, Utomo Dananjaya, KTSP justru tidak memberikan keleluasaan dan membangkitkan kreativitas para guru. Menurutnya, standar isi, standar kompetensi dan standar kelulusan yang disusun Badan Nasional Sertifikasi Pendidikan (BNSP) malah merampas kemerdekaan guru.
"Coba bayangkan, apa yang dilakukan guru di sekolah setelah dia diberikan standar. Gak mungkin dia melakukan sesuatu yang lain, karena hak guru itu sudah dirampas oleh BNSP. Kemudian dia bilang kamu susun KTSP. Bagaimana itu. Sementara guru itu bukan orang pandai, cerdas," ujarnya.
Selain kultur dan etos kerja para guru yang belum mendukung, salah satu persoalan dalam penerapan KTSP, menurut Bedjo, adalah minimnya sosialisasi kurikulum kepada para guru. Dia mencatat, dalam setiap pergantian kurikulum, justru sosialisasi itu sangat kurang dilakukan. Bahkan, ketika sebuah kurikulum baru muncul, yang terjadi adalah kegitan sekolah menjadi stagnan. Andaikan ada sosialisasi, maka sosialisasi itu, katanya, hanya menjangkau sekolah yang dekat dengan pusat kekuasaan. Padahal, sebagian besar sekolah kita berada jauh dari pusat pemerintahan tersebut.
"Buruknya pemahaman terhadap perubahan kurikulum baru (KTSP), bisa jadi terulang kembali dan menjadi penyebab tidak suksesnya pelaksanaan KTSP," ujarnya.
Karena itu, untuk keberhasilan KTSP, Bedjo menyarankan pemerintah melakukan sosialisasi yang gencar. Selain itu, membangkitkan kreativitas guru untuk mengelaborasikan standar yang ditetapkan BNSP. Yang tak kalah penting adalah mengubah mental birokrat pusat hingga daerah di jajaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
M. Basuki Sugita, seorang guru di Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah mengatakan, perubahan mental birokrat pusat dan daerah itu sangat penting karena birokrat dari Dinas Pendidikan mempunyai kedudukan strategis dan sinergi yakni sebagai penghubung kepentingan pemerintah dan sekolah. Karena itu, maju mundurnya sebuah sekolah dan pendidikan suatu daerah katanya, juga tergantung pada seberapa jauh kinerja kantor dinas di kabupaten dan kota.
"Bukan rahasia lagi kinerja kantor yang satu ini masih jauh panggang dari api," ujarnya.
Karena itu, Basuki mengingatkan, tanpa perubahan mental birokrat, KTSP tidak akan berjalan maksimal. "Tanpa semangat perubahan, makna KTSP bak macan ompong," ujarnya.

Seminar

Kompas, 5 Nopember 2007

Pemberantasan Korupsi

Pendidikan Pegang Peran Strategis

Solo, Kompas - Gerakan melawan korupsi bisa berjalan efektif jika dikembangkan melalui pembelajaran di sekolah-sekolah. Gerakan antikorupsi di sekolah menghindari pelajaran pasal-pasal hukum belaka, namun lebih dititikberatkan mengajarkan kejujuran dalam aspek keseharian.
Kejujuran bisa dipraktikkan pada pembelajaran keseharian tanpa mengurangi kualitas akademis pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan memegang peranan strategis melawan korupsi yang makin marak di Tanah Air.
Hal tersebut mencuat pada seminar Kolese Sekolah Menengah Kejuruan Santo Mikael Surakarta dan Kolese Sekolah Menengah Kejuruan Pendidikan Industri Kayu Atas (PIKA) Semarang selama empat hari Kamis-Minggu (4/11) di panti semadi Wisma INRI, Tawangmangu, Solo, Jawa Tengah. Seminar itu dimaksudkan untuk mencari masukan pembelajaran Paradigma Pendidikan Ignasian (PPI) yang digunakan kedua lembaga pendidikan Katolik tersebut.
Seminar yang dihadiri para guru Santo Mikael dan PIKA selain menghadirkan pembicara intern juga mengundang J Subagyo SJ dari Yayasan Kanisius Semarang serta M Basuki Sugita dari SMP Keluarga di Kudus dan B Siswanto dari SMP Raden Patah Semarang. Yayasan Kanisius Semarang saat ini tengah mengembangkan pembelajaran Paradigma Pendidikan Refleksif (PPR) yang menekankan aspek humanis dalam pembelajaran keseharian.
Menurut Subagyo, saat ini ada empat masalah bangsa, yakni korupsi, kekerasan, perusakan lingkungan hidup, serta kerusakan keadaban publik. "Sesuai analisis nota pastoral 03-06, keempat masalah tersebut menghambat perkembangan bangsa. Oleh sebab itu, arah pendidikan seharusnya juga digiring untuk melawan keempat masalah bangsa. Dalam hal ini sekolah tidak perlu menambah kurikulum baru dan jam pelajaran tambahan. Namun, dibutuhkan perubahan pola pikir para guru. Hal itu tidak mudah dilakukan, namun harus dimulai kalau tidak mau bangsa ini makin terpuruk," ujar Subagyo.
PPR yang menekankan aspek humanis pembelajaran menggiring para siswa meningkatkan rasa persaudaraan dan kebersamaan. Rasa persaudaraan yang muncul—selain mendidik anak menghindari kekerasan—juga menjadi kunci keberhasilan siswa menempuh pendidikan. Siswa disadarkan pelajaran sekolah tidak melulu mencari keberhasilan aspek akademis belaka.
"Untuk apa siswa cerdas kalau nantinya ikut praktik korupsi yang ujungnya merugikan kepentingan bersama," tambah Subagyo.
Praktik keseharian melawan korupsi seperti dilakukan SMP Keluarga di Kudus diwujudkan dalam Pendidikan Antikorupsi (PAK). Dalam PAK para siswa dididik meningkatkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, membuka warung kejujuran dan telepon kejujuran.
"Beri kepercayaan kepada anak untuk selalu bersikap jujur. Warung kejujuran bisa bangkrut kalau anak mengambil barang tanpa membayar. Anak diberi refleksi hal itu tengah terjadi di negara kita," ujar Basuki. (pom)

Buku Pelajaran

Kompas, 10 September 2007
Buku Pelajaran dan Kerelaan Guru "Berpuasa"
M Basuki Sugita
Masalah pengadaan buku pelajaran sekolah sejak lama dituding menjadi salah satu penyebab mahalnya biaya pendidikan di Tanah Air. Rencana pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan dana buku pelajaran patut dihargai. Rekan Hendro Martono (Kompas, 27/8) telah menulis panjang lebar persoalan buku pelajaran, salah satunya berkaitan dengan guru sebagai sumber belajar.
Namun, Hendro Martono sebagai seorang pelaku pendidikan terjebak masalah persoalan buku pelajar dengan sumber dana utamanya dana bantuan operasional sekolah (BOS) reguler dan BOS buku. Intinya, pengadaan buku pelajaran sekolah butuh biaya besar dan itu harus dipenuhi pemerintah. Tanpa kemauan baik pemerintah dikhawatirkan persoalan buku pelajaran tidak terpecahkan.
Di tengah karut-marut dunia pendidikan di Tanah Air, muncul pertanyaan menggelitik: apakah sekolah mampu menyediakan buku pelajaran gratis bagi anak didik mereka? Jawabannya bisa, asal guru dan juga sekolah rela "puasa". Artinya, pengadaan buku pelajaran tidak melihat kisaran fee keuntungan, tetapi semata demi kemajuan pendidikan anak didik.
Untuk menjawab persoalan di atas kita harus tahu lebih dulu mekanisme penjualan buku pelajaran sekolah dewasa ini. Harus diakui dan sudah jadi rahasia umum, mahalnya harga buku pelajaran, terutama berkaitan dengan masalah fee. Kisaran besaran fee inilah yang membuat sekolah tidak ubahnya medan pertempuran antarpenerbit buku. Rebutan nilai fee buku mendorong sekolah dan guru saban tahun rajin menjual buku pelajaran kepada anak didik mereka.
Fee buku pelajaran sekolah jamak dinikmati guru/sekolah sampai pejabat tertinggi instansi terkait di daerah. Mekanisme yang berlaku umum, nilai 50 persen dari harga jual buku pelajaran, penerbit buku sudah meraup untung. Sisanya, yang 50 persen dari harga buku pelajaran, "dimainkan" tenaga penjual (sales) dan distributor guna melicinkan nilai penjualan. Untuk guru/sekolah jamak mendapat bagian 35-42,5 persen, bergantung nilai pembelian. Adapun pejabat instansi terkait sekitar 2,5 persen dan sisanya menjadi bagian tenaga penjual buku.
Misalkan harga sebuah buku pelajaran Rp 50.000, berarti dengan nilai jual 50 persennya saja (baca: Rp 25.000 per buku), penerbit sudah dapat keuntungan. Sisa harga buku yang separuhnya inilah yang menjadi "bancakan" banyak pihak.
Mekanisme penjualan buku ini juga menjadi sumber ketidakadilan. Orangtua murid yang keluar uang justru jarang menikmati fee keuntungan buku pelajaran sekolah. Justru fee keuntungan dinikmati pihak lain yang sama sekali tidak pernah keluar uang sepeser pun.
Lantas, bagaimana cara pengadaan buku pelajaran gratis? Keputusan penggratisan buku pelajaran harus dirapatkan dewan guru.
Tujuannya agar di kemudian hari semua sepakat "puasa" tidak mendapat bagian fee keuntungan beli buku pelajaran. Kemudian setiap guru dibebaskan memilih buku pelajaran untuk anak didiknya.
Berangkat dari pengalaman
Berdasarkan pengalaman kami, setelah harga buku berkurang 50 persen, biaya pengadaan buku pelajaran jauh terasa ringan. Sumber dana pembelian buku pelajaran bisa diambilkan dari BOS reguler dan BOS buku.
Setelah buku pelajaran dibeli sekolah, buku lantas dipinjamkan kepada seluruh anak didik dengan sistem sewa cukup Rp 1.000 per buku untuk keperluan administrasi. Misalkan, sekolah mampu membelikan 10 buku pelajaran, berarti orangtua hanya keluar ongkos Rp 10.000 saja. Jauh lebih murah daripada orangtua murid membeli sendiri, bisa mencapai Rp 400.000 untuk 10 buku. Nanti, pada akhir tahun pelajaran, buku sekolah yang dipinjam anak ditarik kembali. Tahun pelajaran berikutnya buku itu dipinjamkan lagi kepada adik kelas.
Untuk menjamin buku sekolah tetap terawat, perlu dibuat aturan baku yang disepakati bersama antara sekolah, wali murid, dan komite sekolah. Aturan itu antara lain buku sekolah harus disampul, tidak boleh dicoret-coret supaya tetap bersih, buku yang hilang jadi tanggungan wali murid dan harus menggantinya dengan buku baru sejenis, serta buku dikembalikan sebelum akhir tahun pelajaran.
Sistem pinjam bergulir itu punya dua tujuan utama. Pertama, meringankan beban keuangan orangtua siswa. Kedua, murid punya nilai sosial dan kebersamaan tinggi di antara mereka.
Para murid disadarkan untuk tetap merawat buku pinjaman karena tahun depan buku dimaksud digunakan adik kelas. Dari penyadaran itu murid diingatkan untuk bisa selalu membantu orang lain/adik kelasnya.
Pengalaman yang diperoleh penulis selama ini meski aturan sudah dibuat baku dan mengikat, sekitar 10 persen buku pinjaman nanti bermasalah. Masalah utama adalah menjaga kebersihan halaman buku. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian wali kelas saat menerima kembali buku yang dipinjam siswa.
Sistem pinjam bergulir di satu sisi juga menguntungkan sekolah. Pada tahun berikutnya sekolah tidak terlalu terbebani soal pengadaan buku sekolah. Anggaran dari BOS reguler dan buku bisa membeli buku pelengkap dan buku referensi guru atau kebutuhan sekolah lain, seperti pengadaan buku perpustakaan.
Apabila dana BOS pada akhirnya dihentikan pemerintah, sekolah sudah punya buku paket lengkap untuk anak didik. Apabila kurikulum berganti, buku sistem pinjam bergulir itu bisa sebagai buku pelengkap perpustakaan. Kelemahan utama sekolah dewasa ini—jika kurikulum berganti—buku lama langsung dilego. Kiloan lagi.
Pergantian kurikulum ternyata tidak mutlak mengubah total materi mata pelajaran. Satu-dua materi baru saja yang disisipkan, menggantikan materi lama. Buku kurikulum lama tetap bisa digunakan sebagai tambahan materi pelajaran.
Penulis sampai saat ini selama mengajar Matematika tetap memakai buku pegangan terbitan tahun 1980 keluaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kalau mau jujur, banyak buku Matematika terbitan pemerintahan reformasi ternyata mengutip buku lama (Kurikulum 1975) tersebut.
Tentu saja pejabat instansi terkait jarang yang minta sekolah melaksanakan sistem buku pinjam bergulir. Karena setiap tahun pelajaran baru sekolah membeli buku pelajaran lagi, mereka dipastikan dapat keuntungan fee yang sangat lumayan.
Apa boleh buat, demi meringankan beban orangtua murid, sekolah perlu kecerdikan tersendiri tanpa harus menunggu instruksi pemerintah.
M Basuki Sugita Guru Matematika SMP Keluarga Kudus, Jawa Tengah
Prev: Analisis Ekonomi, Kompas 10 September 2007Next: Manajemen, Kompas 10 September 2007

KTSP=Perubahan

Kompas
Didaktika
Sabtu, 23 September 2006
Semangat KTSP, Semangat Perubahan
M BASUKI SUGITA
I follow the MoskwaDown to Gorky ParkListening to the wind of changeAn August summer nightSoldiers passing byListening to the wind of changeI
Sepenggal lirik kelompok grup rock Scorpions asal Jerman berjudul Wind of Change di atas secara jitu menggambarkan arus perubahan setelah tembok Berlin roboh tahun 1989.
Tembok Berlin sebagai simbol perang dingin tidak kuasa menahan keinginan anak manusia yang ingin melihat perdamaian. Lengkingan tinggi vokalis Klaus Meine menyadarkan kita akan datangnya arus perubahan. Dan arus perubahan tersebut perlu disambut gembira karena diyakini akan membawa banyak manfaat.
Dalam konteks yang hampir sama, arus perubahan juga terjadi dilingkup pendidikan nasional. Mulai tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006. KTSP memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memerhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar.
Sebelum KTSP diluncurkan, Depdiknas mengumpulkan sejumlah sekolah negeri yang dinilai unggulan di Malang, Jawa Timur, untuk diberi penataran. Sekembalinya ke daerah, sekolah tersebut diminta menularkan ilmunya. Dengan sistem getok tular sederhana ini, misi dan visi Depdiknas mudah sampai ke akar rumput.
Pertanyaan mendasar, apakah KTSP akan dimanfaatkan semaksimal mungkin sekolah untuk meningkatkan potensi yang dimiliki? Perlu diingat, KTSP tidak berjalan maksimal jika para pejabat Depdiknas tidak berubah lebih dahulu. Tanpa semangat perubahan makna KTSP bak macan ompong.
Jalur birokrasi
Jalur birokrasi dunia pendidikan di Tanah Air adalah Depdiknas berada di puncak piramida teratas. Di bawahnya baru Kanwil P dan K masing-masing provinsi. Kanwil ini membawahi Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kota. Dan alur akar rumput sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri, tepat di bawah Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kotamadya itu.
Artinya, Kantor P dan K kabupaten dan kota punya kedudukan strategis dan sinergi sebagai penghubung kepentingan pemerintah dan sekolah. Karena itu, maju mundurnya sebuah sekolah dan pendidikan suatu daerah sebenarnya juga tergantung seberapa jauh kinerja Kantor P dan K kabupaten dan kota. Bukan rahasia lagi kinerja kantor yang satu ini masih jauh panggang dari api.
Harus diakui, KTSP merupakan batu loncatan kemajuan pendidikan. Penyusun rencana kerja setahun penuh memang membantu meningkatkan kinerja. Dari rencana inilah sekolah menapak kerja atas garis-garis yang disusun dewan guru dengan persetujuan komite sekolah sebelum disahkan Kantor P dan K setempat.
Sejumlah sekolah setelah KTSP diberlakukan langsung mengembangkan kreativitasnya. Sebagai contoh di SMP tempat kerja penulis, mulai tahun ini pemilihan ketua OSIS dibuat seperti mekanisme pemilu. Antusiasme anak tinggi dan ini juga pelatihan demokrasi dan politik sejak dini.
Seyogianya sebelum sekolah menyusun KTSP, Kantor P dan K kabupaten dan kota lebih dulu membuat rencana kerja setahun ke depan. Atau jangan-jangan kantor tersebut tidak pernah merancang kegiatan satu tahun pelajaran? Sepanjang yang penulis ketahui belum pernah ada rencana kerja Kantor P dan K disosialisasikan lebih dulu ke sekolah-sekolah. Mekanisme grobyakan justru yang sering mencuat.
Sebagai contoh kegiatan lomba-lomba mata pelajaran, siswa berprestasi (siswa teladan), kesenian dan olahraga belum jelas kapan dilaksanakan. Demi menjunjung fair play sebaiknya semua kegiatan tingkat kabupaten atau provinsi disosialisasikan jauh-jauh hari sebelumnya. Jika perlu setiap awal tahun pelajaran Kantor P dan K juga membuat semacam KTSP yang berisi kegiatan khususnya lomba-lomba suatu daerah satu tahun ke depan.
Persaingan
Sejauh ini tingkat persaingan antarsekolah sedemikian ketat. Penjadwalan penting karena hasil lomba menjadi semacam prestasi sekolah. Tapi kenyataan di lapangan berbicara lain. Ada beragam kepentingan yang membuat hanya sekolah tertentu lebih diperhatikan pejabat daerah. Acap terjadi peserta lomba ke tingkat provinsi hanya sekadar tunjukan sesuai selera pejabat daerah.
Besar kemungkinan rencana kegiatan itu ada tetapi hanya sekolah tertentu di lingkaran kekuasaan tahu lebih dulu. Buktinya segelintir sekolah sudah menyiapkan calon peserta lomba jauh hari sebelumnya. Pengalaman seorang kepala SD di Kudus, beberapa tahun silam, undangan berbagai lomba biasanya datang mendadak. Namun setelah mendekati pejabat kecamatan, kurang beberapa bulan kalau ada lomba sudah diberi tahu dulu. "Untuk itu semua paling tidak kami saban tahun kasih parsel lebaran," ujar kepala SD itu.
Olimpiade
Hanya lomba Olimpiade Sains Nasional (OSN) yang dijadwalkan lengkap setahun sebelumnya. Namun, itu belum cukup karena mencari materi lomba di daerah sulitnya minta ampun. Penulis baru tahu materi lomba setelah seorang siswa kami berhasil maju tingkat provinsi. Itu pun diberi pesan pejabat, soal OSN tidak boleh disebarluaskan ke sekolah lain.
Kalaupun sekolah berhasil maju lomba ke tingkat provinsi tidak tampak usaha pejabat daerah membantu memfasilitasi persiapan. Semua diserahkan ke sekolah, mulai mencari pelatih mumpuni dan materi soal-soal sampai pembiayaan. Muncul anekdot siapa yang menang lomba kabupaten malah celaka tiga belas.
Kinerja pejabat daerah seperti ini yang kini tampak jelas di permukaan. Tidak mengherankan pemenang di berbagai lomba hanya sekolah tertentu. Tanpa pemerataan kesempatan sulit bagi sekolah-sekolah untuk mengembangkan potensinya.
Oleh sebab itu, mumpung KTSP masih hangat tidak ada salahnya kinerja Kantor P dan K lebih dulu dibenahi. Waktu mendatang seyogianya Depdiknas lebih adil memfasilitasi kepentingan sekolah. Arus perubahan yang kini tengah bertiup kencang jangan sampai padam. Semua hanya butuh kemauan baik belaka.
M BASUKI SUGITAGuru, Tinggal di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah

Gugat Peran Pabrik Rokok

Suara Merdeka 27 Agustus 2005
Menggugat Peran Pabrik Rokok
Oleh: M Basuki Sugita
COBA tengok program acara televisi swasta nasional setiap hari, utamanya selepas pukul 21.00. Bertaburan ragam acara menarik yang disponsori perusahaan rokok (PR), termasuk pabrik yang berdomisili di Kudus.
Mulai acara bertajuk panggung rakyat, musik, dagelan, sampai dunia olahraga khususnya sepak bola. Boleh dikatakan selepas pukul 21.00 kehidupan televisi swasta "tergantung" kebaikan hati para juragan rokok kretek terutama dari Kudus.
Kompetisi Seri A Italia, Premiership Inggris, La Liga Spanyol, babak kualifikasi Liga Champion, sampai Piala Libertadores bisa disaksikan gratis jutaan pecandu sepak bola Tanah Air berkat guyuran uang majikan di Kudus.
Bahkan, salah seorang majikan rokok Kudus bersedia menjadi sponsor tunggal kompetisi sepak bola nasional.
Kita bisa nonton konser live grup musik seperti Dewa, Padi, dan Jikustik - gratis pula - dari rumah, juga dari sebagian hasil keuntungan penjualan rokok kretek. Grup musik mancanegara seperti Deep Purple, Blue, dan Westlife bisa manggung di Jakarta juga karena rokok. Kalau para juragan rokok di Kudus tidak royal keluar uang, tayangan acara televisi jadi sepi.
Jika ada data resmi kota tingkat kabupaten di Tanah Air yang sering nongol di layar televisi, maka Kudus akan menduduki peringkat teratas. Slogan "Kudus Kota Kretek" selain untuk menyiasati pembatasan jam tayang iklan rokok, juga membangkitkan kebanggaan warga Kudus.
Harus diakui roda ekonomi Kudus sangat tergantung maju mundurnya perusahaan rokok kretek. Di Kudus terdapat puluhan PR baik berskala kecil, menengah sampai kelas besar. Sebagian besar di antaranya merupakan perusahaan yang dapat digolongkan PR rumahan dan musiman.
Artinya, hanya punya buruh kurang dari lima orang saja dan berproduksi pada bulan-bulan tertentu saja. Untuk PR kelas besar dan bermodal kuat tergabung dalam Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK).
Dari sekitar 120.000 buruh berbagai sektor industri di Kabupaten Kudus, sebagian besar (sekitar) 90.000 orang merupakan buruh rokok kretek. Mayoritas buruh rokok sendiri merupakan buruh borong.
Meski hanya didukung belasan perusahaan saja, PR yang tergabung di PPRK mencapai hampir 90 persen buruh rokok Kudus. Sehingga kebijakan PPRK sangat memengaruhi nasib dan taraf hidup sebagian besar warga Kudus.
Selama ini bidang pendidikan belum sekalipun tersentuh kesepakatan kerja bersama (KKB) antara PPRK sebagai wakil perusahaan dan wakil buruh di Serikat Pekerja (SP) Pengurus Cabang (PC) Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (RTMM) Kudus.
Kita ketahui bersama maju mundurnya suatu bangsa selain diukur dari sisi tingkat usia juga sejauh mana kualitas pendidikan yang dimilikinya.
Sumbangsih pendidikan bagi keluarga besar buruh rokok kretek akan memberikan dampak signifikan bagi peningkatan kualitas pendidikan di Kudus pada umumnya.
Dibutuhkan kearifan dan kebijaksanaan penuh untuk mendukung ide sekolah anak-anak buruh rokok. Memang tidak salah majikan PR keluar uang miliaran rupiah di televisi. Karena dari iklan inilah nanti dipetik keuntungan di kemudian hari untuk membiayai perusahaan. (54)
Penulis adalah guru Matematika SMP Keluarga Kudus.

Kudus (Bekas) Kota Kretek

Suara Merdeka 8 Maret 2007
Kudus (Bekas) Kota Kretek
Oleh M Basuki Sugita
ANDA pernah menengok Museum Kretek Kudus yang terletak di Desa Getas Pejaten, Kecamatan Jati, Kudus? Di tempat bersejarah itu secara menarik disajikan diaroma cikal bakal industri rokok kretek; mulai seabad silam, zaman Nitisemito, sampai era digital sekarang ini.
Keberadaan museum itu menjadi kebanggaan masyarakat setempat. Betapa tidak? Di seluruh dunia, museum rokok kretek hanya ada satu, dan itu berada di Kudus.
Harus diakui, induksi rokok kretek mengangkat derajat ekonomi Kabupaten Kudus. Diperkirakan sekitar 40 persen dari total 700.000 jiwa warga Kudus sehari-hari menggantungkan hidup dari aroma cengkeh rokok kretek.
Namun citra Kudus sebagai Kota Kretek, bisa jadi segera berakhir. Industri rokok kretek yang sempat berkibar, sepuluh tahun terakhir ini mulai meredup. Beragam problem, dari langkah pemerintah menaikkan harga jual eceran (HJE) dan pungutan cukai spesifik, sampai kebijakan WHO (organisasi kesehatan dunia) untuk menyehatkan dunia tanpa tembakau, mau tidak mau membuat pabrik rokok kretek Kudus tergencet.
Belum lagi produksi rokok putihan (tanpa cukai) terus menggerogoti keuntungan perusahaan. Kebijakan Putra Sampoerna menjual perusahaan rokok warisan keluarga HM Sampoerna ke tangan asing pabrik rokok raksasa negeri Paman Sam, Phillips Morris, bukan tanpa perhitungan matang. Dari usaha menjual perusahaan rokok Dji Sam Soe, Putra Sampoerna meraup dana tidak sedikit untuk merambah bisnis internasional.
Bahkan diam-diam juragan rokok kretek Kudus, keluarga Djarum banting stir, mulai melirik bisnis di luar tembakau. Tidak tanggung-tanggung keluarga Djarum lewat perusahaan Alaerka Invesment kini menguasai 46 persen saham Bank Central Asia (BCA). Sebagai pemegang saham mayoritas, Grup Djarum bisa berbuat apa saja di BCA. Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan usaha Djarum lebih fokus ke perbankan dibandingkan dengan rokok kretek.
Intinya, bisnis rokok sekarang tidak punya masa depan cerah. Tidak heran, juragan rokok ramai-ramai mulai melirik bisnis di luar tembakau. Apakah masa suram industri rokok kretek akan berkelanjutan? Ataukah itu sebagai bagian strategi bisnis jangka panjang belaka? Bisa apa Kudus tanpa industri rokok kretek?
Sederet pertanyaan itu tentu butuh jawaban tegas dan pasti dari pengambil kebijakan daerah.
Guncang dan Goyah
Tanda-tanda suram pabrik rokok kretek tentu harus dibaca bijaksana oleh pimpinan Kabupaten Kudus. Tanpa perencanaan matang usaha mikro dan makro ekonomi beberapa tahun ke depan, napas kehidupan masyarakat Kudus bisa dipastikan guncang.
Sebagai industri padat karya, bisnis rokok kretek goyah, lapisan masyarakat papan bawah seperti buruh borong, bathil (mayoritas buruh pabrik rokok kretek) yang pertama terkena dampaknya.
Produksi rokok secara nasional memang terus merosot. Per Oktober 2006 terjual secara nasional 182,486 miliar batang, atau merosot 3,7 persen dibandingkan dengan periode setahun sebelumnya Oktober 2005 yang mencapai 189,406 miliar batang. Pada periode itu produksi Djarum merosot satu persen menjadi 18 persen.
Sementara itu pabrik Nojorono meningkat satu persen menjadi empat persen. Sekarang ini, pabrik lebih suka bermain di pangsa rokok putih (mild) dibandingkan dengan rokok SKT (sigaret kretek tangan). Namun rokok mild tergolong SKM (sigaret kretek mesin) yang tidak banyak menyerap tenaga kerja.
Persoalan jadi tambah pelik, karena pemerintah per 1 Maret 2007 menaikkan HJE sebanyak tujuh persen. Empat bulan kemudian, tepatnya per Juli 2007, pabrik rokok akan mendapat "hadiah" lagi berupa pungutan cukai spesifik. Dari perhitungan bisnis, kenaikan HJE dan pungutan cukai spesifik tentu tidak ditanggung pengusaha.
Semua beban kenaikan harga dipastikan ditanggung konsumen. Berarti, konsumen akan merogoh kantong lebih dalam untuk bisa menikmati rokok kesayangannya.
Pertanyaannya, sampai batas harga berapa konsumen rela memenuhi harga pasar di tengah kondisi iklim ekonomi nasional yang belum membaik ? Di tengah harga rokok terus meroket dan isi kantong semakin cupet saja, tinggal ada dua pilihan bagi penikmat rokok. Berhenti merokok atau banting stir beli rokok murahan?
Kedua pilihan yang mungkin diambil konsumen bukan isyarat baik bagi pabrik. Berhenti merokok merupakan lonceng kematian industri rokok, sementara itu menghisap udut murah berarti membeli hasil pabrik kelas kecil atau pabrik rokok ilegal tanpa pita cukai.
Jika pilihan terakhir menjadi jawaban konsumen rokok, bukan kabar menggembirakan bagi pabrik besar dan juga pemerintah. Karena rokok putih yang sekarang ini menjamur tak terkendali tanpa penanganan serius aparat hukum, tidak memberi pemasukan cukai.
Boleh jadi, sepuluh tahun ke depan industri rokok kretek tinggal kenangan. Tempat yang tepat untuk mengenang kejayaan rokok kretek adalah Museum Kretek Kudus, di Getas Pejaten.(68)
--- M Basuki Sugita, Wiraswasta di Desa Kaliputu, Kudus.

PAK Alternatif hadapi tantangan bangsa

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI Alternatif UtamaHadapi Tantangan Bangsa
Kamis, 17 Januari 2008SEMARANG (Suara Karya): Pendidikan antikorupsi (PAK) ke depan sangat dimungkinkan menjadi salah satu alternatif utama dalam menghadapi tantangan bangsa yang semakin kompleks. PAK yang menitikberatkan pelajaran pada nilai-nilai kejujuran dalam praktik keseharian diharapkan juga bisa menjadi salah satu wadah bagi pendidikan kader calon pemimpin bangsa yang berwatak antikorupsi.
Demikian terungkap dalam seminar nasional bertajuk "Revitalisasi Pendidikan Nilai Aplikasi dalam Pembentukan Karakter Bangsa" di kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes), kemarin.
Dalam seminar yang menghadirkan anggota Komisi X DPR-RI Drs Munawar Sholeh, sosiolog Unnes Dr Agus Salim, serta Kepala SMP Keluarga (SMPK) Kudus Drs M Basuki Sugita itu juga dikupas bahwa potensi guru dalam menyiapkan calon pemimpin bangsa yang mumpuni dan peduli rakyat kecil sebenarnya sangat besar. Namun sayang, energi berlimpah yang dimiliki para guru itu setiap tahun hanya dihabiskan untuk membahas serta menghadapi ujian nasional (UN).
Dr Agus Salim menuturkan, agar PAK bisa diterima seluruh peserta didik, maka semua pihak perlu belajar dari kesalahan pengajaran P4 (Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang tumbuh marak di era Orde Baru. Sebagai misal, kegiatan keseharian yang mudah ditemui di lingkungan sekolah bisa dijadikan model pembelajaran kejujuran. Masuk sekolah tepat waktu sesuai peraturan juga merupakan contoh kegiatan antikorupsi. Jangan seperti model P4 dulu, semua pihak harus mengikuti petunjuk 36 butir P4. Yang berada di luar jalur itu berarti musuh pemerintah.
Dijelaskan, PAK juga mampu mengubah paradigma para guru. Sebagian besar guru di Tanah Air dewasa ini memiliki dua paradigma, yaitu paradigma mencari hidup serta paradigma juklak/juknis. Kedua paradigma tersebut membuat kegiatan guru di sekolah hanya rutinitas belaka sehingga guru sama sekali tidak kreatif.
Terkungkung
Selama ini guru mengajar peserta didik sering tidak dilandasi sentuhan humanis. Kebanyakan guru hanya menghabiskan materi kurikulum nasional. Pelaksanaan UN semakin membuat guru terkungkung dalam sistem kaku yang dibangun pemerintah sendiri. Guru menjadi kurang peka terhadap isu-isu sosial, termasuk masalah korupsi. Akibatnya, secara perlahan-lahan guru turut menjadi bagian penting penyakit sosial bernama korupsi.
Celakanya, potensi guru yang hebat tersebut belakangan justru sering dimanfaatkan elite politik menjelang pelaksanaan pilkada atau pilpres. Para elite politik itu sadar betapa peran guru sangat strategis lantaran memiliki hak suara relatif besar.
Selain itu, guru juga dapat dimanfaatkan untuk memengaruhi siswa, orangtua siswa, rekan-rekan, dan tetangga. Andai saja Depdiknas mempunyai pandangan sama dengan elite politik, semestinya guru bisa dimanfaatkan ikut terlibat dalam menghadapi tantangan bangsa. Pembelajaran kejujuran keseharian sebagai inti PAK tidak memberi tambahan pekerjaan bagi guru.
Pendapat serupa dikemukakan Basuki Sugita. Menurut dia, hasil karya PAK memang tidak dapat dilihat dalam tempo satu-dua tahun ke depan. Keberhasilan PAK baru terlihat sekitar 15 tahun mendatang. (Pudyo Saptono)

Pak Harto Pahlawan atau Koruptor ?

Wawasan, Senin, 11 Februari 2008
Pendapat siswa SMP, Soeharto pahlawan sekaligus koruptor
KUDUS - Meninggalnya mantan Presiden Soeharto ternyata masih meninggalkan kontroversi. Tak terkecuali di kalangan siswa SMP, menganggap Soeharto sebagai pahlawan. Hal ini nampak dari hasil jajak pendapat yang dilakukan siswa SMP Keluarga Kudus, sekolah yang selama ini menerapkan sendiri kurikulum pendidikan antikorupsi.
Dalam jajak pendapat yang dilontarkan Sabtu (9/2) lalu, siswa disodori empat pertanyaan tertulis. Pertanyaan pertama, apakah mantan Presiden Soeharto sosok pahlawan, atau koruptor, 83 siswa dari 169 peserta jajak pendapat menyatakan Soeharto adalah pahlawan, 33 siswa menuding koruptor, dan sisanya tak memberi pendapat. "Hanya saja yang memilih Soeharto sebagai pahlawan, kebanyakan tak memberi alasan yang tepat," ujar Basuki Sugita, Kepala SMPK Kudus.
Salah satu alasan yang dikemukakan, Soeharto dianggap berjasa karena telah memimipin Indonesia selama 32 tahun. Selain itu, banyak pembangunan yang telah dilakukannya. Untuk yang menilai koruptor, siswa memberi alasan bahwa setelah dipimpin Soeharto Indonesia mengalami krisis di berbagai bidang. Akibatnya, Indonesia menjadi terpuruk dibanding negaranegara lain.
Namun demikian, ada pula siswa yang memberi penilaian abu-abu. Seperti yang diungkapkan Stephanie, siswi kelas VII A, menyatakan Soeharto sangat berjasa bagi negara Indonesia, tapi di sisi lain Soeharto juga melakukan tindakan korupsi. "Penilaian para siswa ini tentu didasarkan persepsi mereka dari membaca dan mendengar media massa selama ini," ungkap Basuki.
Meski dilakukan sederhana dari hasil jajak pendapat siswa SMPK Kudus bisa diperoleh gambaran kehidupan Pak Harto memang kontroversial. Penilaian pahlawan atau koruptor yang dilakukan anak-anak usia 13-15, yang kebanyakan masih balita saat terjadinya gelombang reformasi yang melengserkan Soeharto 1998 lalu. Tom/ar

UN Harus Dirombak

Sinar Harapan 29 Juli 2008
Demi Keadilan, Standar Kelulusan Siswa Harus Dirombak
Kudus-Keputusan pemerintah tentang standar kelulusan Ujian Nasional (UN) selama ini ternyata tidak adil dan hanya menguntungkan siswa berkualitas baik. Oleh karena itu, demi rasa keadilan standar kelulusan UN harus dirombak dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan setiap satuan pendidikan. Selain itu, batas kelulusan sebaiknya pakai patokan pencapaian total jumlah nilai yang didapat setiap siswa (peserta didik).Demikian benang merah seminar nasional bertajuk “Lulus UN Jaminan Sukseskah?” yang digelar Himpunan Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus, Sabtu (24/5).Menurut praktisi pendidikan Kudus, Martinus Basuki Sugita, kebijakan standar kelulusan UN berbanding terbalik dengan kondisi nyata pendidikan nasional. “Pemerintah secara sadar menggolongkan kualitas satuan pendidikan menjadi tiga, yaitu sekolah reguler, sekolah standar nasional atau SSN serta sekolah rintisan berstandar internasional atau SRBI,” ujarnya.Sebagai satuan pendidikan unggulan, sekolah berstatus SSN maupun SRBI dikucuri bantuan ratusan juta rupiah per tahun untuk menunjang sarana dan prasarana pendidikan. Sementara sekolah reguler praktis tidak mendapat bantuan dana finansial dan harus mandiri untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran. Pemerintah sendiri berharap setiap daerah punya SSN dan RSBI mulai setingkat SD, SMP dan SMA.“Seharusnya sekolah unggulan punya tanggung jawab lebih dibanding sekolah reguler. Sekolah tersebut sudah mendapat bantuan dana relatif besar. Jadi sudah sepantasnya dituntut nilai lebih tinggi,” ujar Basuki yang kini menjabat Kepala SMP Keluarga (SMPK) Kudus ini.Selain itu, kebijakan batas kelulusan selama ini menihilkan kemampuan unggulan yang dimiliki siswa. Oleh karena itu diharapkan batas kelulusan memakai patokan jumlah total nilai yang dicapai peserta didik. Misalnya untuk tahun pelajaran 2007/2008 ini siswa SMP yang punya nilai 4, 6, 6 dan 6 (rata-rata 5,50) lulus UN. Sementara siswa lain dapat nilai 7, 7, 7 dan 3 (rata-rata 6,00) atau bahkan 10, 10, 10 dan 3 (rata-rata 8,25) justru gagal UN.Batas kelulusan ideal tingkat SMP adalah total nilai 24,00. Anak dapat nilai 10,10,2 dan 2 seharusnya tetap lulus. Nilai 2 yang didapat di 2 mata pelajaran ditutupi keunggulan di bidang mata pelajaran lain. (su herdjoko)

PAK

Pendidikan Antikorupsi (Sumbangsih Guru untuk Nusa dan Bangsa)
By icwweb
Senin, Mei 09, 2005 10:04:05
89 Clicks and 0 Comments

Ternyata rekan penulis tadi diadili gara-gara berita Kurikulum Pendidikan Antikorupsi yang dimuat di harian Suara Merdeka (28/3) dan Kompas edisi Jateng (29/3). Pada berita itu disebutkan, mulai tahun ajaran 2005/2006 mendatang, SMP tempat penulis mengajar akan mengajarkan pendidikan antikorupsi kepada semua siswanya, mulai kelas I hingga kelas III. Pendidikan antikorupsi itu sendiri murni ide penulis setelah membaca resensi buku Teaching Integrity to Youth: Examples from 10 Countries terbitan Transparancy International.Pada bagian penutup resensi buku tadi menanyakan keberanian para guru di Indonesia menyikapi persoalan korupsi yang sudah amat parah menimpa negeri ini. Dicontohkan, Kamboja yang baru pulih dari perang selama puluhan tahun berani memasukkan ide antikorupsi ke dalam kurikulum sekolah.Memang, setelah berita tentang pendidikan antikorupsi itu mencuat ke permukaan, muncul banyak pertanyaan dari kalangan masyarakat dan pelaku pendidikan di daerah penulis mengajar. Apa itu pendidikan antikorupsi? Apakah pendidikan antikorupsi mampu memberantas korupsi di Tanah Air? Apa beda pendidikan antikorupsi dengan pendidikan budi pekerti yang sudah lama absen dari kurikulum nasional? Bagaimana kurikulum pendidikan antikorupsi itu sendiri?Kegamangan masyarakat luas, khususnya dunia pendidikan kita, tentang persoalan korupsi tidak terbantahkan. Pendidikan nasional kita memang sudah berlumur kubangan korupsi. Lantas, apa sumbangsih dunia pendidikan kita ikut membantu memberantas korupsi? Kalau pelaku pendidikan di Tanah Air punya nyali, pendidikan antikorupsi adalah jawabannya! Pendidikan antikorupsi bertujuan menanamkan kejujuran, kepedulian, rasa malu, kerja sama sosial, serta meningkatkan tenggang rasa kepada peserta didik.Diharapkan setelah mempelajari pendidikan antikorupsi para peserta didik sadar bahwa ketidakjujuran, ketidakpedulian, tidak punya rasa malu, antisosial, serta tidak punya rasa tenggang rasa akan merugikan kepentingan bersama. Dalam arti luas merugikan kepentingan berbangsa dan bernegara. Mengapa diberi nama pendidikan antikorupsi, bukan pendidikan budi pekerti, hanya masalah selera saja.Dari pengalaman penulis saat berita tersebut muncul di koran kemudian dikliping dan ditempelkan di papan tulis setiap kelas, para peserta didik lantas tertarik. Mereka sangat antusias membaca karena ada kata antikorupsinya. Artinya, pemilihan nama mata pelajarannya disesuaikan dengan kondisi terkini di Tanah Air dan relatif mudah diketahui dan diserap peserta didik.Harus disadari, penyakit korupsi yang menimpa bangsa ini tidak datang begitu saja. Praktik korupsi tentu bermula dari ketidakjujuran yang makin lama makin menumpuk. Oleh karena itu, pada pendidikan antikorupsi peran kejujuran sangat besar. Kejujuran harus dibina sejak kecil dan terarah.DALAM rancangan silabus pendidikan antikorupsi yang sudah disusun, materi pendidikan antikorupsi diberikan satu jam pelajaran (45 menit) per dua minggu sekali, sebagai pengganti kegiatan upacara yang selama ini rutin diadakan setiap Senin. Upacara bendera yang bertujuan meningkatkan kesetiaan kepada negara diakui atau tidak sudah kehilangan banyak makna. Kebanyakan materi upacara bendera berisi pengumuman atau ceramah pembina upacara yang membosankan dan terasa kering. Rutinitas yang berlangsung sejak duduk di bangku SD sampai SMA perlu disegarkan lagi.Supaya pendidikan antikorupsi dapat lebih mudah dimengerti, diharapkan peran serta masyarakat luas perlu dilibatkan. Misalnya, dua bulan sekali pengelola sekolah mengajak unsur pejabat negara, kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers, atau pihak-pihak terkait dengan hukum ketatanegaraan memberikan ceramah umum. Dari ceramah ini nanti mata hati peserta didik akan lebih terbuka menghadapi masalah-masalah korupsi.Pada intinya, silabus pendidikan antikorupsi yang tengah disusun mencakup tiga hal: pemberian materi, metode, serta indikator yang ingin dicapai. Pemberian materi pendidikan antikorupsi jangan melulu bicara detail-detail hukum. Namun, pertama-tama dititikberatkan pada korupsi yang mungkin dilakukan peserta didik atau pengelola sekolah. Misalkan korupsi waktu. Peserta didik datang terlambat masuk sekolah juga termasuk bibit korupsi.Begitu juga mencontek waktu ulangan karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran. Contoh-contoh pelanggaran jika memungkinkan selalu berkaitan dengan masalah aktual.Misalkan materi tentang tenggang rasa. Contoh seperti membantu anak cacat menyeberang jalan di saat lalu lintas ramai kurang begitu menarik. Akan lebih menarik dicontohkan seperti rombongan moge (motor gede) leluasa masuk jalan tol tanpa bisa diperingatkan polisi. Kenapa bisa demikian? Karena rombongan moge itu biasanya orang terpandang di republik ini. Bisa juga diberi contoh waktu rombongan Wapres Hamzah Haz (waktu itu-Pen) seenaknya saja masuk jalur busway. Biarkan peserta didik mendefinisikan arti korupsi menurut alam pikir mereka sendiri. Guru sebagai fasilitator hanya bertindak menggiring peserta didik ke pola yang dibakukan dalam pendidikan antikorupsi. Pada intinya, pendidikan antikorupsi tidak memasung kreativitas berpikir peserta didikIndikator pendidikan antikorupsi perlu diberi semacam praktik untuk mengetahui sejauh mana peserta didik mampu menyerap materi yang diberikan guru. Misalnya, untuk mengetahui tingkat kejujuran peserta didik pihak pengelola sekolah bisa membuka semacam toko kejujuran. Pada toko kejujuran barang yang dijual hanya diberi label harga saja dan tidak perlu ditunggui. Jadi, pembeli tinggal mencomot barang dagangan dan membayar sesuai harganya. Minta kembalian ambil sendiri dari kotak yang tersedia.Di sinilah kualitas kejujuran peserta didik ditempa dan dibina. Peningkatan aspek kerja sama sosial bisa memakai sistem bantingan yang penulis peroleh selama duduk di bangku SMA di Yogyakarta, awal tahun 1980-an. Misalnya, peserta didik akan iuran membayar uang fotokopi. Tentukan saja nilai iuran per anak seperti biasa, katakanlah Rp 1.000. Nah, pada sistem bantingan peserta didik membayar sesuai kemampuan mereka sendiri. Jadi ada yang membayar pas, lebih, atau tidak membayar karena memang kemampuan ekonomi orangtuanya lemah. Dari pengalaman penulis selama di SMA dulu, urusan duit selalu beres pakai sistem bantingan, malah acap kali ada kelebihan uang sedikit.PENDIDIKAN antikorupsi memang tidak bisa membereskan semua permasalahan korupsi di negeri ini. Apakah pendidikan antikorupsi nanti berhasil atau tidak, baru kelihatan dampaknya sekitar 10-15 tahun mendatang. Namun, dengan kesungguhan para guru membina peserta didik, paling tidak bibit korupsi bisa ditekan seminimal mungkin.Tanpa peran serta seluruh lapisan masyarakat, sulit memberantas korupsi yang sudah amat akut menimpa bangsa ini. Tinggal bagaimana kita (baca: guru) menyikapi persoalan pelik ini. Apakah kita akan diam berpangku tangan saja? Atau, apakah kita ambil peran serta ikut membina generasi muda yang lebih baik ?Tidak kalah pentingnya adalah sikap pejabat tinggi di jajaran Depdiknas, mengapa di saat negeri kita begitu terpuruk karena korupsi belum ada kurikulum untuk menjawab semua persoalan di atas. Akan tetapi, sebelum konsep pendidikan antikorupsi diberikan kepada peserta didik, ada baiknya jangan terdengar lagi kabar korupsi di lingkungan pendidikan kitaHarus diakui, konsep pendidikan antikorupsi yang dimiliki penulis belum matang. Namun, penulis tetap bertekad akan maju terus mengajarkan pendidikan antikorupsi. Penulis selalu berkeyakinan, manusia hidup harus berarti dan memberi makna. Bagi semua pihak yang ingin ikut sumbang saran terkait soal pendidikan antikorupsi, silakan saja kirim email ke mossad63@yahoo.com.(
M Basuki Sugita, pengajar matematika di SMP Keluarga, Kudus, Jawa Tengah)
Tulisan diambil dari Kompas, 9 Mei 2005

Ular Tangga Antikorupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia - Wujudkan Indonesia Bebas dari Korupsi
Ayo Bermain Ular Tangga Antikorupsi
[id]Artikel Makalah[/id][en]White Papers[/en]
Posted by: humas
Posted on : 2007/5/28 17:05:17
Tangan kanan gadis berkepang dua itu asyik mengocok dadu dalam gelas plastik. Sejurus kemudian
dadu digulingkan di atas lembaran kertas dan keluar nomor 5. Sekeping uang logam yang semula
ada di petak angka 83 digeser lima langkah sesuai dengan nomor dadu yang keluar. Artinya, uang
logam milik gadis tadi digerakkan sampai di petak angka 88, yang bertuliskan "mencontek contoh
nyata perbuatan korupsi".
Nasib gadis itu sedang apes karena petak angka 88 ditandai dengan gambar ekor ular yang
tubuhnya menjuntai ke bawah dan kepala si ular menunjuk petak angka 13. Mau tidak mau uang
logam gadis berkepang dua itu harus merosot dan sekarang ada di petak angka 13.
"Makanya jangan suka nyontek, yang jujur dan rajin belajar aja," ledek teman satu permainan.
"Eh kalau ngomong jangan sembarangan, ya, saya enggak pernah nyontek," balas gadis itu tak
kalah sengit.
Sekelumit permainan ular tangga di atas di SMP Keluarga di Kudus, Jawa Tengah, dinamakan ular
tangga anti-korupsi (UTAK). Embel-embel anti-korupsi muncul karena permainan tersebut tumbuh
dan berkembang di tengah-tengah pembelajaran pendidikan antikorupsi. Di SMP Keluarga Kudus,
pembelajaran pendidikan antikorupsi diberikan satu jam pelajaran per minggu sejak 19 Desember
2005.
Antara ular tangga biasa dan UTAK hakikatnya adalah sebuah permainan yang disukai anak- anak.
Namun, ada satu ciri khusus yang membedakan di antara dua permainan tersebut. UTAK
merupakan modifikasi ular tangga "biasa" dan kemudian digunakan menjadi semacam media
pembelajaran penanaman konsep pemahaman korupsi sejak usia dini.
Selain UTAK, pemahaman konsep korupsi juga dikembangkan melalui permainan gobag sodor.
Sebagai bentuk praktik keseharian menolak segala bentuk korupsi, melalui pengembangan nilai-nilai
kejujuran dikembangkan lewat konsep toko kejujuran dan pemilihan ketua OSIS gaya baru layaknya
pemilu pada umumnya. Beragam kegiatan tersebut tetap mengacu pada keinginan untuk mendidik
anak sesuai dengan harkat dan martabat yang dimilikinya.
Nilai kejujuran
Intinya, anak-anak disadarkan bahwa korupsi tidak melulu berhubungan dengan kerugian uang
negara. Korupsi bisa tumbuh di mana saja dan kapan saja. Oleh karena itu, sejak usia dini anak
diberi pengertian tentang nilai- nilai kejujuran yang mudah mereka temukan sendiri di lingkungan
sekolah. Contoh konkret perilaku tidak jujur seperti mecontek, tidak mengerjakan pekerjaan rumah
(PR), ngemplang alias tak mau bayar di kantin sekolah, dan menilep uang SPP.
Mengingat usia anak setingkat SMP belum mampu menyerap pasal-pasal antikorupsi yang begitu
http://www.kpk.go.id 2008/7/30 12:18:47 - 1
njlimet, permainan UTAK khususnya mampu menjembatani kesenjangan pemberian materi
antikorupsi. Berdasarkan pengalaman selama ini, anak- anak akan "menolak" pemberian materi
pembelajaran pendidikan antikorupsi yang berkisar seputar pasal dan hukum belaka.
Permainan UTAK mudah dibuat dan sebaiknya melibatkan semua unsur dalam satu kelas. Untuk
memudahkan kerja anak, satu kelas bisa dibagi menjadi lima atau enam kelompok regu kerja,
tergantung dari banyaknya murid. Sebagai langkah awal, setiap regu diberi tugas membuat satu
UTAK. Untuk memudahkan proses pembuatan, guru bisa membawa contoh permainan ular tangga
yang mudah ditemukan di toko-toko buku.
Pada ular tangga biasa ritme permainan bisa dibedakan menjadi dua hal, yaitu tangga berarti
pemain bisa langsung loncat dan ular berarti pemain terpaksa mundur beberapa petak. Biasanya
gambar tangga muncul saat anak-anak mencari layang-layang di atap rumah atau untuk memetik
buah mangga. Adapun gambar ular tampak ketika akan memangsa ayam petani.
Simbol perilaku
Media pembelajaran UTAK merupakan modifikasi permainan ular tangga pada umumnya. Gambar
tangga merupakan simbol perilaku positif dan ular mewakili kehidupan negatif. Setelah mendapat
pengarahan sekadarnya dari guru, anak-anak dibiarkan menerjemahkan sendiri perilaku positif dan
negatif keseharian di atas papan petak ular tangga.
Dari 100 petak permainan UTAK tidak ada batasan berapa banyak tangga dan ular. Kreasi dan
pemahaman akan bermunculan ketika setiap kelompok mulai mencoba mendefinisikan nilai-nilai
kejujuran dan ketidakadilan yang mereka temui sehari-hari. Daya nalar dan pemahaman setiap anak
dan kelompok tentu berbeda. Hal tersebut wajar karena pencarian setiap anak untuk mencari
pencerahan memang beda, bergantung latar belakang kehidupan sosialnya.
Bisa disebut contoh "ular" antara lain bangun kesiangan mengakibatkan sekolah telat, korupsi bisa
dihukum mati dan suka berbohong membuat tidak punya teman. Adapun contoh "tangga" adalah
olahraga membuat badan sehat, berantas korupsi mengakibatkan negara kaya serta aparat jujur
negara makmur.
Supaya anak lebih terkesan, hasil UTAK regu yang satu dimainkan regu lain dan sebaliknya. Akan
tetapi, di permainan UTAK, pemain tidak sekadar mencapai finis lebih dulu untuk jadi pemenang.
Namun, saat anak melewati papan bergambar ular atau tangga perlu memberi perhatian khusus.
Untuk itu, sebaiknya guru disarankan ikut bermain bersama-sama siswa sekaligus bisa
menerangkan nilai-nilai kejujuran yang terangkum di papan UTAK.
Peran orangtua
Khusus untuk anak usia SD, permainan UTAK bisa berkembang baik jika dimainkan bersama antara
anak dan orangtuanya. Melalui permainan sederhana ini orangtua bisa memberi masukan nilai-nilai
kejujuran yang menjadi kunci melawan praktik korupsi. Bagaimanapun, perbuatan melawan hukum
di kemudian hari tentu diawali dari perbuatan curang kecil-kecilan sejak anak berusia dini.
Bahkan, untuk siswa setingkat SMA atau mahasiswa, UTAK bisa dimainkan tentu dengan sejumlah
perubahan. Di mana untuk usia tingkat SMA dan perguruan tinggi (PT) mereka perlu berdiskusi dan
memahami bersama atas apa yang menjadi pesan tertulis di atas papan UTAK.
http://www.kpk.go.id 2008/7/30 12:18:47 - 2
Memang, permainan ular tangga dari SMP Keluarga di Kudus bukan jaminan praktik korupsi di
Tanah Air akan terkikis habis. Bagaimanapun, menyiapkan generasi mendatang yang punya
nilai-nilai kejujuran yang memadai perlu disiapkan sejak usia dini. Tanpa integritas tinggi dan
dilandasi moral kejujuran, benih-benih ketidakjujuran dan ketidakadilan akan terus berkembang di
kemudian hari.
Sekolah tak punya daya tangkal melawan praktik korupsi. Namun, di tengah karut-marutnya
pendidikan nasional, sekolah punya kewajiban moral menjunjung nilai-nilai kejujuran. Dan, ternyata
nilai-nilai kejujuran bisa dicoba dan dipraktikkan dalam keseharian. Siapa mau mencoba?
M Basuki Sugita Pendidik; Pemrakarsa Pendidikan Antikorupsi di Sekolah; Tinggal di Desa Kaliputu,
Kudus, Jawa Tengah
Sumber: Kompas, 19 Mei 2007
http://www.kpk.go.id 2008/7/30 12:18:47 - 3

Kantin Kejujuran

Kantin Kejujuran Bukan Sekadar Proyek
Kompas Jateng, Rabu, 16 Juli 2008 14:00 WIB
Oleh M Basuki Sugita
Untuk membentuk perilaku antikorupsi, Kejaksaan Agung bersama Karang Taruna Nasional mencanangkan Program Pembinaan Taat Hukum. Salah satu program ini pembentukan kantin kejujuran atau kanjur di sekolah tingkat dasar sampai sekolah menengah atas. Diharapkan dari kanjur tertanam mental anak jujur sehingga generasi mendatang lebih berperan aktif melawan korupsi.
Untuk menyukseskan program kanjur, pihak kejaksaan, dinas pendidikan, dan pemerintah daerah ramai-ramai memberi bantuan dana. Seperti di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (Kompas, 2/7), setiap kanjur dibantu dana Rp 5,5 juta. Terinci pemkot setempat menyumbang Rp 2,5 juta, serta kejaksaan, dinas pendidikan, dan kecamatan masing-masing Rp 1 juta.
Program Pembinaan Taat Hukum seperti pendirian kanjur nanti akan disebarluaskan ke setiap provinsi. Di Jawa Tengah sendiri kerja sama serupa sudah ditandatangani akhir April di SMA Negeri 3 Semarang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), jujur artinya lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Kejujuran dapat diartikan sifat keadaan jujur, ketulusan hati dan kelurusan hati.
Menurut buku panduan warung kejujuran (warjur) tingkat pelajar terbitan Komisi Pemberantasan Korupsi, salah satu nilai dasar yang perlu ditanamkan dalam pembentukan perilaku antikorupsi adalah nilai kejujuran. Apabila pelajar sejak dini memiliki dan mampu menerapkan nilai kejujuran keseharian, diharapkan untuk jangka waktu ke depan pelajar mampu senantiasa berperilaku jujur.
Tentu langkah Program Pembinaan Taat Hukum patut diapresiasi tinggi. Namun, jangan lupa mengelola warjur atau kanjur butuh semangat dan pengorbanan tinggi. Kanjur bukan sekadar membuka kantin tanpa penjaga belaka. Lebih dari itu, diperlukan kemauan keras segenap guru untuk berani melawan arus sosial.
Intinya guru sebagai motor penggerak kanjur harus berani tampil ke depan memberi contoh. Guru juga bertindak sebagai agen perubahan sosial mengajak para siswa mengkritisi kondisi sosial dan budaya masa kini. Keberanian para guru adalah syarat mutlak kanjur berjalan sukses. Tanpa kemauan keras para guru, program kanjur hanya seumur jagung. Lebih penting lagi kanjur jangan dilihat sebagai proyek bagi- bagi uang.
Di tempat kerja penulis, Sekolah Menengah Pertama Keluarga (SMPK) Kudus, kanjur adalah salah satu pelengkap program Pendidikan Antikorupsi (PAK) yang diajarkan sejak 19 Desember 2005. Warjur dan juga telepon kejujuran (teljur) didirikan sebagai indikator program pembelajaran PAK, dimaksud untuk mengetahui seberapa sikap jujur keseharian para siswa.
Supaya semangat kejujuran para siswa tampak, semua program pembelajaran keseharian "didorong" bernuansa antikorupsi. Para siswa senantiasa diingatkan bahwa negara kita tercinta sekarang ini sedang menghadapi masalah besar, yaitu korupsi. Masalah itu bisa diminimalkan salah satunya mengajarkan kejujuran para siswa.
Sesuai analisis pastoral 03-06 Keuskupan Agung Semarang, bangsa Indonesia saat ini menghadapi empat tantangan, yaitu korupsi, aksi kekerasan, perusakan lingkungan hidup, serta kerusakan peradaban publik. Sekolah-sekolah di bawah lingkup Keuskupan Agung Semarang diwajibkan mendidik anak dalam keseharian untuk selalu bisa menjawab empat tantangan bangsa tersebut.
Transparansi segenap pelaku pendidikan sangat penting untuk membuka cakrawala berpikir siswa, untuk apa kanjur didirikan. Sikap terbuka ini akan memberi dorongan semangat siswa melakukan yang terbaik demi kehidupan bernegara dan berbangsa di masa depan. Guru tidak perlu takut dan sungkan memberi bekal siswanya. Kondisi perekonomian kita bangkrut karena keuangan negara digerogoti tikus- tikus koruptor.
Budaya antikorupsi yang coba dikembangkan dalam PAK juga mengajarkan penanaman konsep demokrasi dini. Salah satunya menggelar pemilihan ketua OSIS atau pilkao, seperti layaknya pemilu. Dalam pilkao, setiap calon wajib punya partai, lambang, dan slogan tertentu. Mereka juga wajib pidato di depan teman sekolah untuk memaparkan misi dan visi yang direncanakan.
Warjur di SMPK Kudus sampai sekarang masih tetap eksis, salah satunya disebabkan program tersebut dijalankan bukan atas perintah/kemauan pihak lain, melainkan murni muncul dari "dalam" untuk berusaha mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kejujuran kepada para siswa. Bukan berarti warjur di SMPK Kudus selalu berjalan mulus tanpa hambatan.
Beberapa kali barang di warjur hilang dicuri para siswa. Guru perlu punya keyakinan anak yang dididik bukan malaikat. Namun, sosok anak manusia yang banyak kekurangan dan perlu bimbingan ke arah lebih baik.
Sering terlintas di benak para guru untuk menutup warjur daripada susah payah mengelola. Namun, bayangan itu langsung lenyap karena para guru sadar, pembekalan kejujuran butuh waktu relatif lama dan tidak semudah membalik telapak tangan. Segala jerih payah lunas terbayar kalau ada murid menghadap guru mengaku telah mengambil barang tanpa membayar dan berjanji mengubah perilaku negatifnya.
Penulis tidak tahu apakah dana pendirian kanjur di Bekasi murni hibah atau pinjaman yang harus dikembalikan. Tanpa bermaksud menggurui, model kucuran dana untuk modal kanjur bukan langkah tepat. Kanjur bisa awet kalau semua langkah diawali dari modal mandiri tanpa bantuan pihak luar.
Sejujurnya modal utama pendirian kanjur bukan tergantung berapa banyak uang terkumpul. Lebih penting lagi kemauan segenap komponen sekolah untuk memberi bekal dan bimbingan kepada anak didik. Tanpa pemahaman kuat pada akhirnya banyak pihak patah arang di tengah jalan.
Kalau sekolah belum siap, sebaiknya kanjur tidak perlu dipaksakan didirikan. Ini karena kanjur bukan satu-satunya cara membina anak jujur. Jangan lantas menganggap kanjur sukses berarti perilaku anak didik sudah jujur. Kanjur baru langkah kecil menuju pembinaan generasi mendatang terbebas dari pengaruh korupsi.
Bagaimanapun persoalan korupsi memang perlu dilawan semua pihak. Sekolah sebagai tempat berkumpulnya calon pemimpin bangsa punya kedudukan strategis. Namun, apakah para guru khususnya dan Departemen Pendidikan Nasional pada umumnya selama ini sudah bersikap jujur. Jangan-jangan pelaku pendidikan sendiri jadi salah satu "aktor" persoalan akut bangsa bernama korupsi. M Basuki Sugita Guru Matematika SMP Keluarga di Kudus, Jawa Tengah

Jalan Terjal Mendidik Anak Jujur

Proses PendidikanAnak Jujur
Dua siswa laki-laki berseragam kotak-kotak tampak sibuk memilih alat keperluan sekolah yang diletakkan di dalam kotak kaca. Seorang siswa membeli tiga buah buku tulis, sedangkan siswa yang lain membeli buku gambar. Proses pembayaran dilakukan mandiri karena warung tersebut tidak ada penjaganya.
Mulai membayar sampai mengambil uang kembalian, semua dilakukan sendiri. Mereka yang membayar tunai, menulis di kolom tunai. Belum mempunyai uang, tidak perlu khawatir. Cukup menulis di lembaran ngebon dan bisa dilunasi di kemudian hari.
Apa yang dilakukan siswa kelas VII SMP Keluarga (SMPK) di Kudus, Jawa Tengah, itu bukan penggalan adegan drama. Mereka sedang berlatih kejujuran sebagai bagian Pendidikan Antikorupsi (PAK) yang sudah diajarkan di SMPK Kudus sejak Desember 2005.
Praktik PAK keseharian tampak jelas dan nyata di warung kejujuran dan juga telepon kejujuran. Apakah nilai-nilai kejujuran bisa ditanamkan sejak usia dini? Apakah mental korupsi bisa dikikis melalui tindak tanduk kejujuran?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), "jujur" artinya lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Adapun kejujuran diartikan sifat keadaan jujur, ketulusan hati, dan kelurusan hati.
Semua agama tentu mengajarkan umatnya untuk selalu bertindak jujur. Meski dikenal sebagai bangsa religius, kenapa Indonesia tercatat sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia?
Menurut analisa pastoral 03-06 Keuskupan Agung Semarang, bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi empat masalah besar, yakni korupsi, aksi kekerasan, perusakan lingkungan hidup, serta kerusakan peradaban publik. Maka sekolah-sekolah di bawah lingkup Keuskupan Agung Semarang diwajibkan mendidik anak dalam keseharian untuk selalu bisa menjawab empat tantangan bangsa tersebut.
Butuh tanggung jawabWarung kejujuran seperti model SMPK Kudus adalah menjual barang kebutuhan sehari-hari siswa, seperti buku, alat tulis, penggaris, tip-ex, dan kertas folio, tanpa ada petugas jaga. Seluruh proses pengambilan barang, membayar sampai menghitung uang kembalian, dilakukan mandiri. Proses ini membutuhkan tanggung jawab besar pada diri anak didik.
Berarti anak didik diberi dua kesempatan selama belanja di warung kejujuran. Pertama, mereka boleh saja mengambil sesuka hati tanpa membayar sepeser pun. Atau kedua, anak didik belanja secara jujur tanpa merugikan pihak mana pun.
Konsep ini, kalau dijalankan secara rutin, akan melatih anak selalu berlaku jujur. Diharapkan proses kejujuran tidak hanya berlaku selama belanja di warung sekolah, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk lebih meningkatkan intensitas kejujuran, anak diberi pengertian sisa uang yang tidak diambil akan disumbangkan untuk kegiatan sosial, semisal membantu rekan mereka yang kurang mampu. Peran guru sangat besar dalam memberi pengertian dan tata cara belanja sebelum warung kejujuran digulirkan.
Dari pengalaman kegiatan warung kejujuran selama ini ada tiga tahap proses kejujuran. Pertama, selama minggu-minggu pertama, anak didik bersikap jujur sesuai harapan. Kedua, menginjak bulan kedua dan ketiga, ketidakjujuran sejumlah anak mulai muncul. Sejumlah barang yang dijual raib tanpa ada uang masuk. Dan tahap ketiga, proses yang sulit dan melelahkan adalah mengajak anak kembali kepada ketentuan yang berlaku.
Untuk mengetahui proses ketidakjujuran cukup mudah. Pada hari-hari tertentu dilakukan pendataan berapa banyak barang yang dibeli anak didik. Nilai nominal barang dicocokkan dengan jumlah uang kontan dan lembaran ngebon. Kalau cocok—apalagi ada sisa—berarti anak-anak telah melakukan tindakan kejujuran. Karena siswa tanpa diawasi siapa pun—kecuali Tuhan tentu saja—melakukan prosedur resmi dan baku. Hal ini sesuai harapan inti pembelajaran PAK, yakni mengedepankan kejujuran.
Seperti diuraikan di atas, tantangan tetap saja ada. Setelah dihitung ternyata tidak ada kesesuaian antara nilai barang keluar dan jumlah pemasukan. Ada dua kemungkinan di sini, yakni siswa mengambil barang tanpa membayar atau ada anak mengambil uang di kotak simpanan.
Inilah seni pembelajaran PAK bagaimana cara "menundukkan" anak didik supaya mereka selalu mengedepankan kejujuran.
Di sini dituntut keterbukaan antara pengelola sekolah dan anak didik. Apakah warung kejujuran untung atau rugi selalu diumumkan kepada para siswa. Kemudian anak diajak merefleksikan apa yang akan terjadi kalau warung kejujuran untung atau rugi.
Tentu anak didik akan menangkap makna bahwa warung kejujuran cepat bangkrut kalau mengambil barang tanpa membayar atau uang di laci raib diambil orang. Dari jawaban tersebut, kemudian permasalahan digiring kepada lingkup yang lebih luas, yakni negara kita.
Biarkan anak didik merenungkan dan menyadari bahwa keterpurukan negara kita akibat ketidakjujuran. Penyelenggara sering tidak jujur dalam melaksanakan kewajiban. Sering kali penyelenggara mengambil hak orang lain demi kepentingan sendiri.
Seperti proses kebangkrutan warung kejujuran. Dan bukan mustahil suatu negara bangkrut kalau harta kekayaan negara yang seharusnya milik rakyat diambil sekelompok orang.
Tahu bahaya korupsiDari model pembelajaran seperti ini, anak didik akan lebih jelas dan tahu arti korupsi sebenarnya daripada para guru mengajarkan konsep korupsi serta pasal-pasal hukum yang membuat dahi berkerut.
Proses pendidikan sederhana dan efisien jauh lebih tepat dibandingkan dogma-dogma pemerintah yang sering jauh di atas awang-awang.
Begitu juga pelaksanaan telepon kejujuran. Selain mengajarkan kejujuran, juga sebagai solusi penyalahgunaan telepon genggam di kalangan siswa.
Sekolah cukup menyediakan prasarana dua telepon genggam jenis GSM dan CDMA dilengkapi kartu perdana yang berfungsi sebagai telepon umum. Tarif bisa ditentukan sendiri tergantung kondisi sekolah.
Setelah telepon kejujuran berjalan, anak didik dilarang keras membawa telepon genggam ke sekolah dengan sederet sanksi yang telah disetujui bersama.
Akan jauh lebih bermakna luas apabila gerakan kejujuran dilakukan serempak dari tingkat pendidikan bawah sampai atas.
Tentu sulit mengharapkan Depdiknas mau memelopori gerakan moral di atas. Karena gerakan kejujuran bukan sebuah proyek bergelimpangan uang. Beda jauh dengan pelaksanaan ujian nasional.
Mari kita tempatkan kejujuran sebagai hal utama dan pertama dalam kehidupan sehari-hari. Siapa mau gabung?
M Basuki Sugita Penggagas Pendidikan Antikorupsi (PAK) Tingkat Menengah; Tinggal di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah
Kompas, Senin - 24 Desember 2007

Dagelan Itu Bernama Ujian Nasional

Dagelan Itu Bernama Ujian Nasional
Kompas, 15-08-05
Hasil ujian nasional tahun pelajaran 2004/2005 tingkat SMP dan SMA atau sederajat telah diumumkan akhir Juni lalu. Banyak siswa gagal menembus nilai 4,26 alias tidak lulus. Muncul komentar yang mengeluhkan rendahnya kualitas pendidikan nasional. Wakil Presiden Jusuf Kalla merasa prihatin dan akan berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di sejumlah daerah yang pada kenyataannya masih tertinggal (Kompas, 2 Juli 2005).
Keluhan masyarakat tidak salah. Kualitas pendidikan nasional memang sudah sangat memprihatinkan. Namun jika diamati secara arif, ketidaklulusan siswa untuk tahun pelajaran 2004/2005 ini sebenarnya bisa lebih tinggi dari angka yang sudah diumumkan pemerintah. Artinya, banyak siswa berkualitas rendah ternyata lulus ujian.
Tulisan di bawah ini akan membahas penyebab kelulusan seorang siswa. Berdasar pengamatan, pengalaman penulis, ditambah pengakuan para siswa yang ”kebetulan” lulus ujian, ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan. Pertama, siswa tidak lulus ujian karena memang berkualitas rendah. Kedua, ternyata siswa lulus ujian belum tentu berkualitas tinggi. Karena sejumlah faktor X bisa saja siswa berkualitas rendah lulus ujian.
Perlu dipertanyakan apa benar hasil UN mencerminkan kualitas pendidikan setiap sekolah/daerah? Perlu diketahui, salah satu tujuan UN untuk memetakan tingkat kemajuan kependidikan suatu daerah.
Bahan tulisan ini dari perbandingan latihan UN (pertengahan April) dan UN (awal Juni) tahun pelajaran 2004/2005 tingkat SMP di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Khususnya mata ujian Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Data perbandingan diambil dari tes tertulis di 43 SMP di Kudus. Kecuali tiga SMP, yakni SMP Negeri 1 Kudus, SMP Negeri 1 Jati, dan SMP Negeri 3 Bae yang ujiannya pakai sistem contextual teaching learning (CTL).
Saat latihan UN ternyata dari 43 SMP peserta tes hanya ada 4 SMP yang lulus ujian. Sementara 39 SMP lain dinyatakan tidak lulus ujian. Meskipun satu SMP dinyatakan lulus, bukan berarti semua siswa di sekolah tersebut lulus uji coba. Begitu juga sebaliknya. Ketidaklulusan sekolah dapat dibaca mayoritas siswa disekolah tersebut memiliki nilai di bawah ambang batas kelulusan. Diperkirakan ada 5.000 siswa tidak lulus uji coba UN dari sekitar 6.800 peserta. Materi disiapkan pihak Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) setempat mengacu kriteria kelulusan UN.
Meski berlabel latihan UN, tidak urung banyak pihak kebakaran jenggot. Mengomentari jebloknya hasil latihan UN di Kudus, Kepala Dinas P dan K Jawa Tengah Suwilan Wisnu Yuwono mengatakan, ”Biasanya soal untuk uji coba dibuat sulit untuk merangsang siswa agar nilai ujian nasional bisa bagus” (Kompas, 6 Juni 2005).
Dari tabel 1, 2, dan 3 dilihat sepintas apa yang dikatakan Suwilan Wisnu Yuwono masuk akal. Dapat dibaca, ke-43 SMP di Kudus mampu meningkatkan kualitas pendidikan dalam tempo sekejap. Angka ketidaklulusan mampu diminimalkan dari sekitar 5.000 siswa menjadi 979 siswa saja. Nilai rata-rata ketiga mata pelajaran juga meningkat cukup signifikan.
Mengingat kenaikan nilai dialami hampir semua peserta tes, banyak muncul pertanyaan. Contoh sebuah SMP, latihan UN jumlah rata-rata ketiga mata pelajaran hanya 10,79. Namun saat UN nilai meningkat dua kali lebih menjadi 23,31. Dari sekolah tersebut kenaikan sangat tinggi untuk mata pelajaran Matematika. Nilai rata-rata latihan hanya 2,25, tapi saat UN meningkat hampir 4 kali lipat menjadi 8,77. Dari sisi pendidikan mana yang bisa menjawab fenomena kenaikan drastis nilai seperti terjadi di Kudus ini?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kali pertama dilihat proses pra-UN di sekolah. Sejak nominasi peserta ujian, strategi menyiasati UN sudah dilakukan. Aturannya, satu ruang ujian diisi maksimal 20 siswa. Mereka duduk berlima ke belakang. Siswa pandai dinominasikan duduk di deret ketiga atau di tengah ruang ujian dan ”dikelilingi” siswa yang lain. Usulan nominasi ini biasanya diterima Diknas. Tapi di sejumlah daerah urutan nominasi memakai sistem urut nomor induk siswa.
Tata letak bangku dan kursi siswa punya andil ”meluluskan” siswa. Pada umumnya ruang kelas SMP relatif kecil, berukuran 7 x 7 m. Jarak tempat duduk peserta ujian relatif cukup dekat. Jarak siswa depan-belakang sekitar 0,5 m dan kanan-kiri 1 m saja. Ditambah model soal UN pilihan ganda, sah-sah saja peserta ujian sering lihat kiri-kanan, utamanya ”melirik” hasil kerja teman yang pandai. Banyak siswa mengaku untuk mengerjakan 30 soal, mereka hanya butuh 10 menit untuk menjawab. Celakanya, Peraturan Mendiknas Nomor 1/2005 tentang Ujian Nasional tahun pelajaran 2004/2005 tidak mengatur tata ruang UN secara mendetail. Hanya disebutkan, ruang ujian harus memenuhi syarat antara lain aman dan memadai.
Memang satu ruang dijaga dua pengawas (guru) lain sekolah yang dibayar Rp 15.000 per orang dipotong pajak 10 persen, untuk terus mendelik selama 120 menit. Tapi apa pengawas betah duduk terus? Perlu dipahami, banyak pengawas sering ngantuk, ngobrol satu sama lain, dan sesekali mencuri waktu keluar ruang tes untuk merokok.
Juga ada kedekatan emosional antara siswa dan guru saat UN. Ucapan ”siswa yang Anda jaga juga tidak lain murid Anda sendiri”, acapkali membuat bimbang para guru. Di satu pihak guru harus mengamankan kualitas pendidikan nasional, di sisi lain guru tidak tega anak didiknya gagal.
Seberapa valid kualitas kelulusan UN, Balitbang Depdiknas bisa mengecek silang dengan nilai rapor hasil rata-rata 3 tahun siswa belajar. Misal, siswa bernama A nilai UN Matematika mendapat 9,67. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai rata-rata rapornya selama tiga tahun belajar. Dari perbandingan ini bisa ditarik kesimpulan apakah nilai UN siswa bersangkutan valid atau tidak. Tentu saja jika si siswa memang berkualitas seperti yang diharapkan, nilai rata-rata rapor tidak jauh dari angka 9,67.
Dari contoh kasus di atas, Departemen Pendidikan Nasional tidak boleh gegabah mengambil nilai UN sebagai standar kemajuan pendidikan suatu daerah. Jika carut-marut UN tidak segera dibenahi, tidak salah banyak pihak mengatakan UN hanya dagelan belaka. Toh lulus atau tidak hanya ditentukan 3 kali 120 menit saja. Bukan hasil belajar tiga tahun.
Ingat, kita hidup di bumi Indonesia bukan di Karang Tumaritis: negeri pewayangan tempat tinggal Gareng dan Petruk yang penuh dagelan saban hari.
M Basuki Sugita Guru SMP di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah

Kelemahan Ujian Nasional

Evaluasi Hasil Belajar
Berbagai Kelemahan (Rencana)Pelaksanaan Ujian Nasional 2007
M Basuki Sugita
Meski terus mendapat protes berbagai elemen masyarakat, pemerintah tetapbersikukuh melaksanakan ujian nasional tahun pelajaran 2006/2007.Pemerintah bahkan telah menerbitkan Peraturan Mendiknas Nomor 45 Tahun2006 tentang UN 2006/2007 dan Standar Kompetensi Lulusan. Hal teknisdiatur pada Prosedur Operasi Standar UN.Guna meminimalkan protes tentang UN, pemerintah melalui DepartemenPendidikan Nasional berupaya merebut hati masyarakat luas. Salah satuupaya adalah menukar jadwal UN dan jadwal ujian sekolah (US). UNdilaksanakan April 2007, sementara US digeser ke Mei 2007. Diharapkannanti muncul anggapan bahwa US juga penting seperti halnya UN. Selain itu,disebutkan bahwa kelulusan siswa ditentukan sekolah, bukan lagipemerintah. Apakah strategi Depdiknas ini berhasil?Mempelajari isi Peraturan Mendiknas No 45/2006 sebagai payung hukum UN2006/2007, ada sejumlah kelemahan yang berpotensi merugikan kepentingananak didik peserta UN. Satu hal yang harus diingat, sebaik apa punperaturan dibuat, semua bergantung pelaksana di lapangan. Dalam kasus ini,UN sangat bergantung kesiapan dan kesigapan guru. Dan, persoalan inijustru dilupakan Depdiknas.Kelemahan pertama menyangkut jadwal UN. Pergeseran jadwal UN berimplikasi luas karena baru diumumkan medio November 2006. Praktis sejak itu rencana kerja setahun guru kelas IX (tingkat SMP sederajat) dan kelas XII (tingkat SMA sederajat) menjadi berantakan.Perencanaan sekolah kabupaten/kota tentang kapan materi pembelajaransemester II diakhiri dilanjutkan waktu uji coba UN terpaksa dikaji ulang.Intinya, sejak Desember lalu setiap guru, sekolah, dan dinas pendidikankabupaten/kota kembali menyusun jadwal rencana kerja baru. Ini bukanmasalah gampang.Korban lain dari pergeseran jadwal UN menimpa siswa calon peserta UN.Misalkan di Jawa Tengah, mereka tetap harus masuk sekolah saat libursemester I lalu (15-27 Januari 2007). Semua demi mengejar prestasi UN.Pasalnya, kalender pendidikan di Jawa Tengah tidak berubah, bahwa semesterII dimulai 29 Januari 2007. Kantor dinas pendidikan setempat telahmengimbau pihak sekolah untuk memaksimalkan hari libur. Padahal, libursekolah adalah hak setiap siswa. Dan, hak itu sengaja dirampas demi UN.Kelemahan kedua, menyangkut hubungan jadwal dan kriteria kelulusan. Meskinanti (katanya) kelulusan siswa ditentukan sekolah, hasil UN masih sangatberpengaruh. Dari empat kriteria kelulusan, keharusan siswa lulus UN tetapmenjadi yang utama. Artinya, nilai UN harus bisa dipenuhi dulu jika siswaingin lulus.Ini jelas tidak adil karena saat siswa mengerjakan ujian sekolah dan ujianpraktik sekitar pertengahan atau akhir Mei, nasib mereka sebenarnya sudahdapat dipastikan. Minimal dua minggu setelah ujian, hasil komputerisasi UNsudah tercetak meski kemungkinan besar hasil UN itu belum dibagikan kesekolah. Bagi siswa yang kebetulan tidak lulus karena terganjal nilai UN,ini jelas menusuk perasaan mereka. Kalau sudah diketahui lebih dulu gagallulus karena UN, sebenarnya mereka tidak perlu ikut US. Buang-buangtenaga, waktu, biaya, dan pikiran saja.Kelemahan ketiga, menyangkut standar kompetensi lulusan (SKL). PadaPeraturan Mendiknas No 45/2006, Pasal 8 Ayat (2) ditulis, SKL UN-2007merupakan irisan (interseksi) dari pokok bahasan/subpokok bahasanKurikulum 1994, standar kompetensi dan kompetensi dasar pada Kurikulum2004, dan Standar Isi. Artinya, tidak semua materi yang pernah dipelajarisiswa nanti akan diujikan di UN. Atau, lebih parah lagi, banyak sekolahmengambil kebijakan pintas tidak memberikan materi pembelajaran kepadasiswa yang sekiranya materi tersebut tidak keluar dalam UN kelak.Sebagai contoh, SKL UN 2006/2007 mata pelajaran Matematika tingkat SMP.Kurikulum 2004 untuk Matematika, materi kelas IX semester II terdiri dari4 bab, yaitu pangkat tak sebenarnya, logaritma, pola bilangan, danpersamaan kuadrat. Dari 4 bab tersebut, hanya materi pola bilangan yangmasuk SKL UN 2006/2007. Berarti, tiga materi lain—pangkat tak sebenarnya,logaritma, dan persamaan kuadrat—hampir dipastikan tidak keluar di UNmendatang.Mengingat semester II baru berjalan, banyak sekolah kemudian mengambiljalan pintas. Materi pelajaran Matematika semester II hanya tentang polabilangan. Tiga materi lain "dibuang" dengan alasan buang-buang waktu. Jamyang ada kemudian digunakan mengulang materi kelas VII dan VIII.Apakah kebijakan jalan pintas ini salah? Dari sisi edukasi, sekolah jelasmengabaikan hak siswa mendapat pembelajaran secara utuh. Akan tetapi, darisisi kepraktisan, kebijakan sekolah itu masuk akal sebab kalau keempat babdiajarkan semua, materi pembelajaran baru selesai awal April. Padahal,minggu ketiga April siswa sudah UN. Lantas, kapan siswa harus mengulangmateri kelas sebelumnya?Kelemahan keempat, menyangkut kriteria kelulusan (nomor 2 dari empatpersyaratan) yang berbunyi, "memperoleh nilai baik pada penilaian akhiruntuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlakmulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompokmata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dankesehatan".Nilai baik di sini rancu dan membingungkan. Kriteria nilai baik untukKurikulum 2004 (dikenal pula dengan sebutan Kurikulum BerbasisKompetensi/KBK) dan Kurikulum 2006 (kini populer dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) adalah kisaran nilai antara 71 hingga 80 (dua digit). Sementara Kurikulum 1994 nilai baik adalah 8 (satu digit). Kebijakan ini akan menguntungkan siswa yang berlatar belakang Kurikulum 2004 dan Kurikulum 2006. Sebab, untuk mendapat minimal nilai baik, ada 10 kemungkinan penilaian (71-80). Sementara peserta UN dari Kurikulum 1994 minimal nilai baik hanya satu kemungkinan, yakni nilai 8.Kerancuan ini terjadi karena untuk UN 2006/2007 Depdiknas tidakmensyaratkan pendaftaran kurikulum yang dipakai setiap sekolah. Pemegangotoritas pendidikan nasional ini langsung main "tubruk", menyamaratakanKurikulum 1994, Kurikulum 2004, dan Kurikulum 2006.Dari uraian di atas, satu hal bisa dipetik sebagai pelajaran berharga:Depdiknas tidak pernah mau belajar dari sejarah. Kinerja grobyaganditandai dengan pergeseran jadwal UN di tengah tahun pelajaran telahmembuat kalang kabut kalangan akar rumput. Kalau ingin UN diterimamasyarakat luas secara maksimal, ke depan, Depdiknas perlu merancangberbagai aturan yang bisa meminimalkan kerugian pihak lain. Tanpa itusemua, kebijakan UN selalu mengundang kontroversi....M Basuki Sugita Kepala SMP Keluarga Kudus, Jawa Tengah
Sumber : Kompas Senin, 05 Februari 2007http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0702/05/humaniora/3277985.htm
.

Kasparov vs KBK

Fokus
Sabtu, 25 Februari 2006
Humaniora
Depdiknas Perlu Belajar dari Pecatur KasparovKelemahan KBK adalah Soal Administrasi
M BASUKI SUGITA
Akhir tahun 1987 di gedung opera Lope de Vega, Sevilla, Spanyol. Memasuki partai terakhir ke-24 Kejuaraan Catur Dunia, posisi juara bertahan Garry Kasparov sangat genting. Menyisakan satu partai lagi, Kasparov tertinggal 11-12 dari penantangnya, Anatoly Karpov. Untuk mempertahankan gelar juara, Kasparov harus menang di partai terakhir. Berdasarkan peraturan FIDE (Federasi Catur Dunia) waktu itu, sebagai juara bertahan Kasparov hanya butuh skor sama kuat 12-12 untuk mempertahankan gelar juara.
Dalam sejarah Kejuaraan Catur Dunia, belum pernah terjadi di partai terakhir pecatur yang berada di bawah angin mampu menang dan akhirnya merebut juara. Memegang bidak putih pecatur kelahiran Baku, Azerbaijan, tanggal 13 April 1963, ini diprediksi banyak pengamat sejak langkah pertama akan langsung menggebrak pertahanan Karpov. Toh, main remis apalagi kalah bagi pecatur yang punya nama lengkap Garry Kimovich Weinstein ini sama saja. Gelar juara digondol Karpov.
Pada babak penentuan strategi yang dipakai Kasparov mengejutkan banyak pihak, termasuk penantangnya, Karpov. Alih-alih bermain agresif, Kasparov justru bermain tenang dan lamban. Strategi Kasparov jelas ingin mempertahankan bidak selama mungkin di papan catur. Dia membuka bidak c4 sebagai pengenal pembukaan Inggris, melalui pertukaran langkah menuju pembukaan reti dengan fiancetho gajah ganda.
Kasparov yang memilih varian tidak lazim membuat Karpov bermain bertahan dan memperlambat permainan. Karpov yang dikenal ahli posisional dalam permainan catur, sempat krisis dan hanya punya waktu kurang semenit untuk menyelesaikan delapan langkah. Partai ditunda di langkah 41 dengan Kasparov memasukkan langkah rahasia ke sampul. Sejarah mencatat Kasparov akhirnya menggulung Karpov melalui pertarungan sengit 64 langkah dan mempertahankan gelar juara.
Mengapa Kasparov mampu menjungkirkan sejarah catur, dari tertinggal angka sampai menang di partai terakhir untuk mempertahankan gelar juara? Ada dua aspek di sini, yakni strategi jitu yang disusun bersama para sekondan juga karena Kasparov mau belajar dari sejarah.
Kondisi menegangkan di partai terakhir persis sama di Moskwa dua tahun sebelumnya dalam perebutan Kejuaraan Catur Dunia juga antara Karpov melawan Kasparov. Di partai terakhir posisi berkebalikan dengan kejadian di Sevilla. Waktu itu Kasparov unggul 12-11 atas juara bertahan Karpov. Bertekad menang untuk mempertahankan gelar, Karpov yang pegang bidak putih langsung menyerang sejak langkah pertama. Serangan gencar mampu dibendung Kasparov dan akhirnya hasilnya tragis, Karpov kalah dan kehilangan gelar juara.
Depdiknas
Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi masalah pendidikan di Tanah Air tidak salah kalau Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mau belajar dari kepiawaian Kasparov. Boleh dibilang Depdiknas saat ini menghadapi beragam persoalan pendidikan. Mulai dari kualitas pendidikan nasional yang rendah, guru tidak mampu menjabarkan isi kurikulum secara baik dan benar, anggaran pendidikan terbilang kecil, kesejahteraan guru belum maksimal, fasilitas pendidikan minim sampai kekurangsiapan Depdiknas sendiri.
Depdiknas bisa diibaratkan Kasparov dibantu para sekondan seperti Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Sementara para guru tidak lain bidak-bidak catur. Untuk memenangkan pertandingan bidak catur digerakkan dengan strategi yang sudah disusun, tidak lain adalah kurikulum.
Dalam perjalanan waktu, tidak selamanya strategi yang sudah disusun berjalan mulus. Untuk itu diperlukan kreativitas sendiri di pihak guru, dengan melihat konteks anak didik dan daerah. Dalam buku Batsford Chess Openings yang disusun bersama GM Raymond Keene (Kompas, 1987), Kasparov menulis pilihan pembukaan reti dianggap sebagai salah satu cikal bakal gerakan hipermodern dalam teori catur. Di mana strategi permainan catur menangguhkan pecahnya perang sebelum bidak-bidak siap tempur.
Pengumuman pembatalan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau yang sering disebut Kurikulum 2004 (Kompas, 10/2) bagai petir di siang hari bolong. Betulkah KBK yang baru berumur jagung dihentikan dan diganti kurikulum baru lagi? Langkah pembatalan itu di satu sisi menunjukkan kepedulian pemerintah atas nasib KBK yang sejak awal banyak mendapat kritikan. Namun, di sisi lain juga menunjukkan strategi Depdiknas amburadul dan tidak mau belajar dari sejarah.
Memang benar KBK pernah diujicobakan di berbagai daerah. Namun, ketidakberhasilan KBK sudah dimulai dari masa uji coba tersebut. Sekolah yang ditunjuk uji coba KBK dapat berbagai fasilitas penunjang dari pemerintah, seperti pembangunan laboratorium bahasa, fisika, dan biologi. Juga ada honor khusus bagi guru yang memberi tambahan pelajaran remedial dan pengayaan. Setelah uji coba selesai, sekolah yang ditunjuk mengaku siap menjalankan kurikulum baru.
Agaknya Depdiknas lupa bahwa kondisi siap itu karena dukungan tambahan fasilitas. Tapi begitu KBK dilaksanakan menyeluruh, sekolah banyak teriak kesulitan menjabarkan isi kandungan KBK. Dalam situasi ini, KBK tidak boleh disalahkan. Bagaimanapun KBK punya maksud baik ingin mengangkat kemandekan kualitas pendidikan nasional. Tanpa dukungan fasilitas belajar memadai, KBK tidak bisa berjalan maksimal.
Sebaiknya segala uji coba yang dilakukan Depdiknas mendatang melibatkan sekolah-sekolah swasta juga. Hubungan birokrasi antara atasan dan bawahan selama ini tidak memungkinkan pengelola sekolah negeri berani mengkritisi Depdiknas yang notabene atasannya. Berbeda dengan sekolah swasta, jika menemui kejanggalan program pemerintah mereka lebih berani menyuarakan ketidakberesan tersebut.
Kelemahan KBK
Salah satu kelemahan KBK adalah persoalan administrasi yang pelik. Contoh mudah adalah pengisian rapor. Penulis pernah melakukan penelitian kecil-kecilan, ternyata ada perbedaan mendasar lama pengisian rapor kurikulum 1994 dengan sistem KBK. Sistem lama untuk satu rapor bisa selesai antara 5-7 menit. Sementara satu rapor KBK selesai 25 hingga 30 menit. Penulisan rapor bertele-tele, apalagi sistem proses penilaian ala KBK juga melelahkan. Kalau sudah begini, guru justru lebih disibukkan membereskan administrasi pengajaran, bukan meningkatkan kualitas pendidikan.
Situasi sekarang ini yang belum jelas sangat menyulitkan pihak guru. Harus disadari para guru sebagai ujung tombak kurikulum harus berhadapan langsung dengan masyarakat, bukan pejabat Depdiknas. Gonta-ganti kurikulum juga buku pelajaran mau tidak mau membebani pikiran guru.
Seyogianya sebelum kebijakan baru diluncurkan perlu pematangan konsep strategi. Uji coba perlu dimatangkan. Apa pun kurikulum pengganti KBK nanti tentu punya maksud dan tujuan baik. Tanpa strategi jitu dan terarah tidak mungkin kualitas pendidikan nasional maju.
Kasparov memakai pembukaan Inggris tentu sudah dipersiapkan secara matang. Jika misalkan memilih pembukaan gambit menteri, belum tentu ia mampu menang melawan Karpov. Tinggal sekarang bagaimana sikap Depdiknas ingin ”memenangkan” pertandingan. Apakah ingin seperti Kasparov yang merencanakan segala sesuatu secara matang sebelum melangkah kedepan? Hanya sejarah yang nanti mencatatnya.
M BASUKI SUGITAGuru, Tinggal di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah

Identitas Guru Pengawas (Terpaksa) Dipalsukan

Humaniora
Senin, 29 Mei 2006
Identitas Guru Pengawas (Terpaksa) Dipalsukan
M Basuki Sugita
Ingar-bingar Ujian Nasional tahun pelajaran 2005/2006 tingkat sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama baru saja usai. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pro dan kontra masih mewarnai pelaksanaan UN. Nasib jutaan siswa kelas III tinggal menunggu hasil pengumuman kelulusan untuk tingkat SMA tanggal 19 Juni dan SMP tanggal 26 Juni 2006.
Tetapi, tidak banyak yang tahu. Di balik pelaksanaan UN yang menelan biaya ratusan miliar rupiah, khusus tahun pelajaran 200/2006 ini puluhan ribu guru pengawas terpaksa mengantongi identitas palsu. Kebijakan yang kurang masuk akal ini terpaksa ditempuh demi kesuksesan pelaksanaan UN itu sendiri. Tanpa pemalsuan identitas guru pengawas bisa dipastikan UN tahun ini gagal dilaksanakan. Karena jumlah pengawas tidak mencukupi total ruang ujian yang tersedia.
Pemalsuan identitas guru pengawas berkaitan erat dengan ketentuan Prosedur Operasi Standar (POS) tentang Ujian Nasional (UN) tahun pelajaran 2005/2006 yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) selaku penanggung jawab UN. Ketentuan pengawas UN sesuai pedoman BSNP untuk butir 5 disebutkan, guru mata pelajaran tidak diperbolehkan mengawasi pelaksanaan UN untuk mata pelajaran yang diujikan.
Sesuai peraturan itu berarti tidak semua guru boleh mengawasi UN. Hanya guru pemegang mata pelajaran di luar mata uji UN boleh jadi pengawas. Para guru yang dilarang keras BSNP ikut mengawasi UN untuk tingkat SMA adalah pemegang mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Asing, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ekonomi. Adapun tingkat SMP untuk guru Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.
Peraturan yang diterbitkan BSNP diduga bertujuan meminimalkan pelanggaran pelaksanaan UN. Dikhawatirkan para guru yang disebutkan di atas akan mampu menjawab soal-soal UN dan pada gilirannya disebarluaskan kepada anak didiknya. BSNP sangat yakin guru di luar pemegang mata pelajaran yang diujikan tidak akan mampu menjawab soal-soal UN.
Bagaimana identitas guru pengawas dapat dipalsukan? Pertama-tama harus diketahui lebih dulu mekanisme pembagian tugas UN yang sudah dibakukan Depdiknas. Pembagian tugas ini meliputi penyebaran soal-soal ujian, pelaksanaan ujian, pengembalian berkas lembar jawaban komputer (LJK) sampai pembagian Daftar Nilai Hasil Ujian Nasional (DNHUN) dan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN).
Depdiknas sudah memetakan peserta ujian dari tingkat provinsi yang ditandai dua digit nomor. Misalkan Provinsi Jateng bernomor 03, kemudian 2 digit berikutnya menunjukkan kabupaten/rayon, misalnya, Kabupaten Kudus bernomor 19. Satu rayon dibagi lagi menjadi beberapa subrayon (dua digit) setingkat kecamatan yang terdiri sekitar 8 sampai 10 sekolah. Setelah itu kode masing-masing sekolah (3 digit) dan nomor urut peserta ujian (3 digit). Jadi peserta ujian bernomor 031902xxxxxx berasal dari sebuah sekolah di Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Dari pengalaman pelaksanaan UN selama ini, semua kebijakan antarrayon dan antarsubrayon hampir dipastikan sama. Namun, baru UN 2005/2006 ini kendala ketentuan guru pengawas jadi topik pembicaraan hangat. Pasalnya kalau ketentuan BSNP tentang guru pengawas khususnya butir 5 dilaksanakan utuh dan konsekuen bisa jadi UN gagal dilaksanakan. Karena subrayon sebagai ujung tombak UN akan kekurangan guru pengawas.
Seperti diketahui, sudah ditentukan satu ruang berlangsungnya UN maksimal diisi 20 peserta didik yang harus dijaga 2 orang guru pengawas. Misalkan SMP A ada 100 peserta didik peserta UN berarti harus tersedia 5 ruang ujian. Dengan sistem silang murni berarti SMP A harus mengirimkan minimal sebanyak 5 kali 2 atau 10 guru pengawas ke lain sekolah. Sisa guru tinggal di tempat sebagai panitia UN setempat. Sementara SMP A tersebut oleh subrayon akan mendapat maksimal 12 guru pengawas dari lain sekolah di mana 2 di antaranya tercatat sebagai pengawas cadangan.
Guru pengawas secara sah dapat menjadi pengawas di lain sekolah harus dibekali surat keterangan berisi identitas nama dan mata pelajaran yang diembannya sehari-hari. Surat keterangan dibuat rangkap dua, yakni satu ditujukan ke sekolah yang dituju dan satu lagi arsip di subrayon.
Dari persoalan di atas sulit memenuhi ketentuan BSNP. Ketentuan BSNP bisa diberlakukan untuk sekolah tertentu saja. Dalam arti, guru mata pelajaran yang ujikan UN tidak jadi pengawas. Misalkan, sekolah dengan jumlah guru relatif banyak (sekolah-sekolah favorit). Sementara sekolah-sekolah pinggiran dengan jumlah guru terbatas sulit memenuhi ketentuan BSNP.
Akibatnya, banyak sekolah dengan kesadaran penuh melanggar rambu-rambu guru pengawas. Guru yang ditunjuk kemudian dipalsukan identitasnya. Khususnya yang menyangkut identitas mata pelajaran yang diajarkan. Tidak mengherankan dalam surat keterangan seorang guru Bahasa Inggris bisa ditulis pengajar Olahraga. Atau sehari-hari mengajar Matematika di surat keterangan tercantum pengajar Kesenian.
Lantas siapa yang patut dipersalahkan dalam kasus pemalsuan identitas guru pengawas? Pihak sekolah dan guru semata-mata memenuhi ketentuan kuorum jatah pengiriman pengawas yang harus dipenuhi. Subrayon juga sulit disalahkan karena tanggung jawab surat keterangan adalah sekolah bersangkutan. Pejabat P dan K setempat juga tidak patut disalahkan. Kalau guru mata pelajaran UN tidak boleh ikut mengawasi UN bisa-bisa pelaksanaan UN terhambat. Kekurangan guru pengawas mau minta kepada siapa?
Kalau mau jujur, pihak BSNP yang patut dipersalahkan dalam kasus pemalsuan identitas pengawas UN. Karena, BSNP mengeluarkan kebijakan yang tidak melihat kondisi nyata di lapangan. BSNP agaknya melihat masalah UN yang menyangkut guru pengawas hanya di kota-kota besar saja. Sampai detik ini di sekolah-sekolah swasta dan sekolah negeri pinggiran banyak guru yang mengajar melebihi batas maksimal. Hal ini terjadi karena masih kurangnya jumlah guru.
Saran untuk BSNP, jika mengeluarkan sebuah kebijakan sebaiknya dengan melihat kondisi nyata di lapangan.
Agaknya BSNP sekali-kali perlu datang ke daerah menggali informasi lebih mendalam. Jika sebuah kebijakan sulit dikondisikan di lapangan, tidak perlu diberlakukan. Jangan sampai untuk mendukung sukses UN, para guru terpaksa membohongi dirinya sendiri.
M BASUKI SUGITA Guru Pengawas UN Tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Harga Diri Sekolah Tergadai Bimbel

Harga Diri Sekolah Tergadai Bimbel
Kamis, 3 April 2008 10:41 WIB
Oleh M Basuki Sugita
Bulan ini merupakan waktu sibuk setiap satuan pendidikan menyiapkan anak didiknya menghadapi ujian nasional yang diagendakan bulan April dan Mei mendatang. Menjelang Hari H, pihak sekolah mengadakan beberapa kali uji coba yang diikuti siswa kelas VI sekolah dasar, kelas IX sekolah menengah pertama, dan siswa kelas XII sekolah menengah atas.
Sejak tiga tahun terakhir, marak setiap menjelang UN satuan pendidikan mengadakan kerja sama dengan lembaga nonprofit, seperti bimbingan belajar (bimbel). Kerja sama itu meliputi pembuatan soal, percetakan soal-soal latihan UN, sampai proses penilaian lembar jawab komputer (LJK). Praktis sekolah setor sejumlah uang, soal-soal latihan tersaji tinggal dibagikan kepada siswa. Selesai dikerjakan, LJK dikembalikan ke bimbel dan seminggu kemudian sudah muncul daftar nilai hasil latihan UN lengkap dengan peringkat siswa.
Hubungan baik satuan pendidikan dengan bimbel ironisnya direstui pejabat terkait di daerah. Terbukti, latihan bersama yang dimotori Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) jamak menggunakan soal-soal berlabel bimbel. Bukan soal latihan UN saja ditangani bimbel. Kerja sama tersebut sudah merambah hingga pembuatan soal tes semesteran, bahkan sampai soal ulangan harian.
Budaya instan yang dikembangkan sekolah sebenarnya justru mencoreng harga diri pelaku pendidikan itu sendiri. Mengapa pelaku pendidikan enggan membuat soal-soal sendiri yang seharusnya menjadi tugas pokok seorang guru? Siapa yang diuntungkan dari bisnis latihan UN?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III (2005) terbitan PT Balai Pustaka, sekolah diartikan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran atau tempat usaha menuntut kepandaian. Bimbingan diartikan petunjuk (penjelasan) cara mengerjakan sesuatu, tuntunan, dan pimpinan.
Dalam konteks keseharian, bimbel diartikan masyarakat luas sebagai tempat layanan khusus untuk menyiasati soal-soal ulangan harian sekolah, kenaikan kelas, UN, sampai persiapan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB).
Bukan rahasia lagi, setiap menjelang UN, peredaran uang di lingkup pendidikan cukup kencang. Faktor fulus menjadi penentu utama kebijakan membeli soal-soal dari bimbel. Harga pasaran paket soal latihan UN tingkat SMP dipatok bimbel berkisar Rp 20.000 per siswa, di luar biaya administrasi latihan dan honor guru jaga. Nilai harga tadi sudah mencakup soal paket A dan B (sesuai standar UN) sampai pengolahan LJK siswa peserta latihan UN.
Supaya kelangsungan kerja sama lancar saban tahun, pengelola bimbel kebanyakan merekrut tenaga guru sekolah-sekolah favorit atau guru inti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang juga penentu kebijakan pendidikan di daerah.
Sulit menolak anggapan usaha lembaga bimbel bertujuan murni meningkatkan taraf pendidikan. Seperti halnya usaha bidang lain, keuntungan materi menjadi salah satu pertimbangan pendirian bimbel. Padahal, ikut belajar di bimbel tidak murah biayanya. Sebagai contoh, di Kudus, biaya bimbel termurah untuk kelas IX SMP berkisar Rp 1,35 juta hingga Rp 1,65 juta per tahun. Untuk biaya Rp 1,35 juta terinci uang pendaftaran Rp 50.000, biaya sarana dan fasilitas Rp 400.000, serta biaya bimbingan Rp 900.000.
Seminggu siswa peserta bimbel masuk tiga kali, masing-masing dua jam. Materi yang didapat mata pelajaran UN (Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Ilmu Pengetahuan Alam). Fasilitas yang didapat adalah modul soal-soal latihan, suplemen, trik-trik pengerjaan soal, serta evaluasi rutin per bulan.
Sekolah formal tingkat SMP negeri menarik sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) berkisar Rp 25.000 per bulan atau Rp 300.000 per tahun. Swasta berkisar Rp 60.000 per bulan atau Rp 720.000 per tahun. Di luar biaya lain, seperti buku-buku pelajaran yang mencapai Rp 350.000. Belajar formal tatap muka per minggu 38 jam pelajaran, masing-masing 40 menit atau jauh lebih banyak dibanding belajar di bimbel.
Kerugian
Ada sejumlah faktor kerugian yang muncul dari pembelian soal latihan UN bimbel. Pertama, guru tidak terbiasa membuat soal sendiri. Padahal, tugas utama guru mengajar, mendidik, dan mengevaluasi kinerja anak didiknya sendiri. Bisa diartikan, mata rantai tugas guru terpotong hanya karena alasan bisnis semata.
Tanpa terbiasa membuat soal dan mengevaluasi kinerja siswa, kerja guru hanya sebagai "tukang ngajar" belaka. Kedua, harga diri guru dan sekolah jatuh di mata siswa dan orangtua. Sebab, siswa pasti tahu dari kop lembar soal dan lembar jawab bahwa soal-soal yang mereka kerjakan bukan karya gurunya sendiri, tetapi pihak lain.
Ketiga, harga beli soal bimbel jatuhnya lebih mahal, berarti memberatkan keuangan orangtua siswa. Ditangani sendiri, biaya per paket soal latihan UN tingkat SMP (empat mata pelajaran) hanya berkisar Rp 18.000 per siswa, sudah termasuk biaya administrasi dan honor guru jaga.
Besar kemungkinan ketergantungan para siswa terhadap bimbel semakin terasa dari tahun ke tahun. Apalagi, pelaksanaan UN-meski ditentang banyak pihak-kemungkinan besar terus dikembangkan pemerintah. Ditambah lagi, jumlah mata pelajaran yang di-UN-kan terus tambah banyak. Bahkan, ada kecenderungan sekolah justru lebih terasa sebagai bimbel dibanding lembaga pendidikan formal.
Yang terasa unik dan menarik, orangtua siswa tidak keberatan mengeluarkan biaya banyak untuk ikut bimbel. Namun, ketika sekolah sebagai lembaga formal menambah biaya sedikit saja, sudah diprotes orangtua murid. Kondisi harus membuat pelaku pendidikan waspada. Tanpa perubahan sikap, boleh jadi lembaga pendidikan formal seperti sekolah akan "ditinggal" murid.
Ketergantungan sistem pengajaran kepada pihak luar lambat laun merusak sistem pendidikan nasional. Asal diberi kepercayaan luas, para guru pasti mampu membuat soal sendiri yang berkualitas. Semua memang tergantung kepada penentu kebijakan satuan pendidikan itu sendiri. Apakah harga diri sekolah pantas tergadai?
Ada benarnya tulisan AA Navis dalam novel berjudul Robohnya Surau Kami. "....Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat bodoh manusia sekarang yang tak hendak memelihara apa yang dijaganya lagi."
M Basuki Sugita Pendidik Tinggal di Kaliputu Kudus, Jawa Tengah